
Alhamdulillah… ujian Psikologi Lingkungan & Psikologi Hukum uda berlalu – tepatnya – baru aja selesai. Perjuangan yang patut diperhitungkan. Coz materi ujian yang ga sedikit – dan kami ga mungkin menghafalnya – maka ketika mengerjakannya, kami boleh m’buka buku, handout, catatan, atau referensi lain (alias open book). walopun open book, tetap aja ujian hari itu (kamis/251007) sangat memeras otak dan tenaga. Masing-masing mata kuliah Cuma terdiri dari 5 soal, tapi essay... aplikasi dan penalaran pula... ditambah lagi, aku ga taw kalo ujian kedua mata kuliah itu tuh open book… yang ada, aku sibuk m’bolak-balik handout coz aku ga hafal letak stiap materinya. Payah banged yak?! caps de...
Dalam rangka untuk menyejukkan hati dan pikiranku karena mengalami post-examination syndrome (hallah… sok ng-istilah! Padahal ga ada istilah itu…), segera kulaksanakan sholat dzuhur di Musholla Al-Hikmah – musholla yang sebenarnya milik Fakultas Filsafat, tapi secara letaknya dekat dengan gedung kuliah Fakultas Psikologi, maka kami sering mengunjunginya untuk sholat atau tempat janjian.
Saatnya pulang… begitu sampe WA (Wisma Ana), aku ga langsung menuju kamarku, tapi mampir ke kamar mbaNin yang ada di sebelah kamarku lantaran mlihat sesosok mungil yang kukenal sedang duduk ga jelas di dalam kamar mbNin. Dava! Dava ini cucunya Ibu kos yang stiap harinya ditinggal ayah-bundanya bekerja. Kedua eyangnya – yakni bapak-ibu kos – sedang ada di Jakarta, di tempat budenya Dava. So, untuk beberapa hari ke depan, sepulang dari sekolahnya di TK Masjid Kampus UGM, Dava mengunjungi kami – anak-anak kos karena di rumahnya ga ada orang. Aku yang memang setelah Idul Fitri belum bertemu Dava, langsung menghampirinya, ”Eh, ada mas Dava... lagi ngapain?”. MbaNin yang saat itu sedang dandan karena maw pergi ke kampus, terus menyuruh Dava untuk menyalamiku, ”Ayo, salaman sama mbaTyas... belum salaman kan?” Dengan gerakan yang malu-malu plus paksaan (baca: seretan) mbaNin, akhirnya Dava menyalamiku. ”Ngomongnya apa hayo...”, godaku. Beberapa detik kemudian mbaNin keluar kamar. Tinggallah aku bersama Dava. Eh, melihat mbaNin keluar kamar, Dava pun ikut-ikutan keluar. ”Yah... mbaTyas qo ditinggal sendirian? Mas Dava di sini aja...” Dava tersenyum mengejek sambil berusaha menutup pintu kamar mbaNin, tapi gagal karena ada pengganjal pintunya. Ha... ha... ha... kutarik pintunya, kuganjal dengan kakiku. Menang aku dong... Dava yang tingginya ga lebih dari pinggangku jelas kalah dariku yang badannya segede gini. He... he... Dava terlihat jengkel karena ga berhasil mengerjaiku. Tau ga, apa yang dia lakukan? Menendangku! Ya, dengan kekuatannya yang ga seberapa tapi cukup menyakitkan itu dia menendang lututku. Daripada tambah membuatnya marah, aku keluar dari kamar mbaNin dan langsung menuju kamarku yang ada di sebelahnya sambil berucap, ”Mas Dava nakal!” Btw, anak-anak kos – terutama aku – emang manggil Dava dengan menambahkan Mas di depannya karena bulan November tahun lalu Dava punya ade, Farrel namanya. Untuk membahasakan, jadi kami memanggilnya Mas Dava. Sekarang ini Farrel sedang ada di Klaten, bersama eyangnya yang lain. Ga mungkin dong, ditinggal di Jogja...
Begitu masuk kamar, ingin rasanya langsung kurebahkan tubuh ini di atas kasur berselimut seprai ungu yang bentuknya tidak terlalu rapi itu (maap... sebelum ke kampus tadi ga sempat mberesin kasur seberes-beresnya). Tapi perut ini juga tak kuasa menahan lapar yang teramat... Sebelum bersiap untuk having lunch, aku wira-wiri dalam kamarku. Ngambil ini lah... ngambil itu lah... Dava yang memang ga ngerti maw ngapain (karena mbaNin juga uda berangkat ke kampusnya) mondar-mandir aja di depan kamarku. ”Mas Dava sini aja, maen di kamar mbaTyas... belum pernah ke sini kaaannn???”, sahutku manja (bermanja-manja: salah satu teknik persuasif dengan sasaran anak kecil di bawah umur. He... he...). Dava nyuekin aku sambil ngeloyor menjauhi kamarku. Mba Irma yg lagi nyuci baju di tempat yang ga jauh dari kamarku berkomentar, ”Duh... Tyas qo nggodain anak kecil sih...”, dengan cara bicara yang menggou-da. ”Habis... dia tidak menggodaku, jadi kugoda saja dia...”, cara bicaraku pun ikut-ikutan menggou-da. Ga usah dibayangin ya, teman-teman... Kalo bukan di WA, ga akan aku bicara dengan gaya kaya gitu. Apa kata dunia???
Kuabaikan Dava. Paling-paling dia ga berminat bertandang (hallah, bertandang...) ke kamarku. Sambil menyiapkan lunch yang kubeli di Pink (warung di Samirono yang bercat pink, kami menyebutnya warung Pink. Ada juga warung Merah, Kuning, dan Ijo. Kaya pelangi aja yak?) sebelum pulang ke WA tadi, aku sedikit membereskan kasur dan meja belajarku yang penuh dengan barang-barang yang sebenarnya bukan di situ tempatnya. Setengah tiga! Subhanallah... ternyata uda mau sore lagi... time is running out so fast.
Kuposisikan diriku se-PW mungkin untuk menyantap makan siangku. Baru membuka bungkusnya, aku terusik untuk menoleh ke arah pintu kamarku. Ngek! Dava uda berdiri di sana sambil senyum-senyum. Naga-naganya sih dia hendak mengagetkanku. Aku menang lagi... dia ga berhasil mengerjaiku. Wuek...kek...kek...kek...
”Eh, Mas Dava ke sini... ayo masuk... Mba Tyas mau maem... sini, sini, duduk sini...”, bujukku sambil meminta Dava untuk duduk di kasurku, terpaksa beberapa buku yang tergeletak di atas kasur kupindahkan ke meja demi memberi tempat untuk Dava duduk. Dia ga duduk, malah mendekatiku dan makan siangku. Jujur niy, perasaan senangku atas kedatangan Dava ke kamarku bercampur dengan kekhawatiranku akan tingkahnya yang unpredictable (bisa-bisa seisi kamarku berpindah tempat karena keonaran Dava. Mklum bae-lah... bocah cilik...). ”Mba Tyas mau maem... Mas Dava uda maem belom? Maem bareng yuk... Sini Mba Tyas suapin...”, terangku (sok baik ;p) sambil mulai menempelkan sendok ke makananku. ”Udah, di sekolah...”, jawab Dava. ”O... ya uda... Mba Tyas makan ya...”, sambil memasukkan suapan pertama ke dalam mulutku dengan didahului dengan doa sebelum makan. Mmm... nikmatnya... alhamdulillah... pada saat yang hampir bersamaan, adzan Ashar terdengar nun jauh di sana.
Dava belingsatan di atas lantai kamarku yang ga terlalu bersih juga, tapi cukup aman untuk tempat bermain Dava. Aku meneruskan makanku sambil berdoa dalam hati, Ya Alloh, lindungilah hamba... semoga Dava ga ngapa-ngapain... (ngapa-ngapain refer to melakukan hal aneh yang bisa mengganggu ketentraman jiwaku. Hiperboils yak?). Dava memperhatikan jam meja yang saat itu terletak di atas lantai di bawah meja printer (letak yang aneh...). Ia mencocokkannya dengan jam dinding yang tergantung di atas meja belajarku. ”Lho, ini jarum panjangnya ada di angka delapan, kok yang itu di angka sebelas?”, tanyanya dengan polos. Kritis sekali anak ini... pikirku. Aku memang sengaja mengeset jam dindingku lima belas menit lebih cepat daripada jam mejaku. Maksudnya sih supaya aku menyegerakan urusanku ketika melirik jam dindingku. Seolah-olah... padahal sama aja ya... kan yang ngeset aku sendiri. Lagian jam mejaku menunjukkan waktu yang sebenarnya. Ga tralu ngefek sih, tapi lumayan lah... bisa menjadi pemacuku untuk lebih berdisiplin (cara disiplin yang aneh...). Untuk menjawab pertanyaan Dava tadi, aku jelaskan bla...bla...bla... tapi nampaknya dia ga ngerti juga... ya iya lah... anak kecil...
Dari jam, ia beralih ke atas CPU. ”Wah... spidolnya warna-warni...”, ungkapnya disertai dengan senyuman. ”Iya... lucu kaaannn???”, tukasku, narsis. ”Mas Dava suka nggambar ga? Niy, kalo mau nggambar, pake spidol ini aja... ini kertasnya...”, aha! Aku menemukan cara untuk menghindarkan Dava dari hal yang mengancamku. Kuambil segepok spidol dalam tempat pensil dari atas CPU plus kertas bekas ngeprint yang ga lagi terpakai karena salah ngeprint dari atas kardus yang letaknya di bawah meja print. ”Niy, ayo gambar... pilih spidol yang warna apa? Mas Dava suka warna apa?”, tanyaku. ”Merah”, jawabnya. Dava mengambil spidol merah yang alhamdulillah masih bisa dipakai dengan baik. Sebetulnya segepok spidol itu ga smuanya bisa dipake. Cuma, aku belum sempat mengeceknya satu per satu. Aku meneruskan makanku yang baru setengah jalan itu sambil sesekali melihat ke arah Dava yang sedang menggambar. Wah, Dava bisa jadi subjek TIA (Tes Inteligensi Anak)-ku niy... kalo maw PDKT secara intensif, aku bisa membawanya ke kampus. ”Mas Dava kapan-kapan main ke kampus Mba Tyas yuk...”, pintaku, disela-sela aktivitas menggambarnya. Hiks, dicuekin niy... walopun oleh anak kecil, yang namanya dicuekin, ya mak jleb-jleb... sabar, Ty... katanya mau jadi Psikolog Perkembangan... masa baru dicuekin gitu aja nyerah... ”Emang Mas Dava sekolah sampe jam berapa?”, tanyaku lagi. ”Jam dua...”, kali ini Dava menjawab. Hmm... jam dua... kalo jadi, praktikum TIA-ku juga mulai jam dua, hari senin. Kalo Dava tetap mau kujadikan subyek, apa ga cape? Gimana ya, teknik persuasinya?
Aku mempercepat makanku dengan tujuan supaya aku bisa cepat-cepat membersamai Dava menggambar. Beberapa kali setelah menggambar suatu bentuk, Dava memperlihatkannya padaku. ”Ini rumah, ada tanduknya”, pamernya. ”Oh, iya... qo ada tanduknya sih, Mas? Buat apa? Buat hiasan ya?”, tanyaku basa-basi, sebagai apresiasi terhadap gambarnya. ”Iya, buat hiasan”, jawabnya agak ragu. Aku menyesal telah menanyakan pertanyaan dengan pilihan jawaban. Seharusnya aku bisa menggali kreativitasnya dengan membiarkan Dava menjawab apa pun yang dia mau.
Gambar demi gambar ia buat. Lucu-lucu, ada rumah bertanduk, rumah bercerobong asap, jalan simpang tiga dengan segitiga di tengahnya, mobil yang melintas di jalan, pot bunga yang lancip di dasarnya (mana bisa berdiri yak?!), matahari di sudut kiri atas, awan yang menumpahkan air hujan, burung-burung ’endutz’ (coz badannya bulet banged), pesawat terbang yang ukurannya sama dengan burung, dan karena mendung – kata Dava – maka ada petir yang keluar dari awan dan mengenai salah satu burung. ”Waduh, burungnya kasihan kena petir... jadi burung bakar dong...”, teu-teup ya, apa pun gambarnya, kuliner mulu komentarnya... he...he... ”Engga, ini pura-puranya burungnya ada di depan petir, jadi ga kena...”, jelasnya. ”O... gitu...”, ujarku mengiyakan. Oke juga imajinasi anak ini...
Berbagai warna spidol ia coba. Sebetulnya aku yang memintanya untuk mencoba spidol warna lain selain merah (duh, aku mematikan kreativitasnya lagi!). Dava mulai menggambar laut dengan menggoreskan spidol orange di atas kertas membentuk gelombang air. Hampir aja aku nyeletuk, ”Masa air warnanya oren?”, tapi aku tahan. Kali ini aku ingin membiarkannya berkreasi, sepertinya sejak tadi aku sudah cukup banyak mengintervensinya. Ada kapal layar di atas gelombang air itu. Di bawah gelombang air, Dava membagi menjadi tiga kotak dan diisinya dengan bentuk V, rumput, pikirku. Rumput? Masa sih, di bawah air ada rumput? Oh iya, saat itu di kamarku sudah terputar sinetron ”Si Entong” di TV (untung aku menemukan acara yang pas untuk anak seusia Dava, dan ia emang suka nonton ”Si Entong”) dan sudah dipenuhi oleh Mba Irma, Mba Antin, dan Ririn yang juga ingin melihat tingkah Dava. Ok, kembali ke... rumput... dengan penuh keheranan, aku nyeletuk, ”Lho, di laut qo ada rumput, sih, Mas?” Untuk menghilangkan keherananku, aku berimprovisasi, ”O... rumput laut ya...?” sing... komentar yang aneh... eh, Dava malah mengiyakan... Lagi, aku mengintervensinya.
Setelah beberapa hasil karya Dava hasilkan, aku sempat bertanya-tanya, qo ga da gambar gunung ya? Zamanku kecil dulu, kalo ada perintah menggambar, pasti tangan ini bergerak membentuk dua buah gunung simetris dengan matahari pagi menyembul di tengahnya. Di bawah gunung - tepatnya di tengah – kutarik garis membentuk jalan (lurus atau berkelok, tergantung mood) dengan sepetak sawah di sebelah kiri dan kolam ikan di sebelah kanan. Mostly, teman-teman juga akan menggambar hal yang sama kan? Lain halnya dengan Dava, ketika kutanya apakah dia suka menggambar gunung atau ga, ia menjawabnya, ”Engga”. Namun, karena hasil intervensiku juga, Dava memaksakan diri menggambar gunung seperti yang kugambarkan di atas, tapi tanpa kolam ikan, hanya ada sawah di masing-masing sisi jalan. Jika kuperhatikan, gambar gunung dan laut orennya tadi ga digambar dengan sepenuh hati oleh Dava. Ya iya lah... wong ga mau, qo yo dipekso... aku ga maksa juga sih... tapi penasaran aja, coz this boy is different...
Banyak kertas Dava habiskan untuk menggambar. Aku ga kuatir kertasku habis, coz aku emang punya banyak kertas bekas ngeprint yang sisi sebaliknya masih kosong warisan Mba Noe yang uda hengkang dari WA. Agaknya Dava cape menggambar. Ia berganti menulis nama-nama. Nama pertama: THOMAS. Katanya, Thomas adalah tokoh kartun pesawat yang bisa berbicara di salah satu VCD yang ia punya. Ga terasa uda jam empat waktu jam dindingku, brati uda satu jam aku bersama Dava. Di sela-sela Dava sibuk dengan spidol dan kertasnya, Dava bilang, “ Ayah pulang jam empat. Nanti aku mau bilang ayah kalo aku habis nggambar di kamarnya mba kos...” Dengan mengernyitkan dahi, “Mba kos yang mana? Emang namanya siapa?”, tanyaku menyelidik. ”Ngga tau”, jawabnya. ”Ih, Mas Dava nakal! Masa udah lama nggambar di sini ga tau nama yang punya kamar... Mas Dava jahat...”, aku merajuk sambil merengut (ga penting banget de... demi Dava niy, acting!). Eh, si Dava malah ketawa. Heran aja, masa dia ga tau namaku? Dulu aja, waktu kami ketemu di depan kos, dengan penuh perhatiannya Dava tanya, ”Mba Tyas habis sakit ya?” Aku terharu... masa sekarang dia lupa? Lagian kan sejak pertama berinteraksi, aku slalu menyebut diriku dengan ”Mba Tyas”, bukannya aku, saya, atau hanya mba... hu...hu...sedih... ”Coba sekarang Mas Dava baca di pintu, ada namanya di situ”, sengaja aku ga langsung membocorkan namaku, usaha dong! Kuminta Dava melihat tulisan dari gabus sisa acara di kampus setahun lalu yang kutempel di pintu kamar berbunyi ”Welcome to Tyas’s Palace”. Mh... jadi pengen malu... Dava menyebut, ”Tyas, tyas...”. Aku senang... ”Iya, ayo sekarang tulis di kertas”, maksa banget yak! Dava yang masih asing dengan huruf ’Y’ bertanya,”Habis ’T’ apa?” Aku menjawab, ”Habis ’T’, trus ’Y’...” Dava berpikir, ”’Y’... ’Y’ itu sebelum ’Z’ ya?” Kalo yang nanya bukan Dava, bakalan kujawab, ”Ya iya lah...”, tapi berhubung yang nanya Dava, maka aku mengiyakan dengan halus. Dava yang belum yakin dengan jawabanku langsung menyanyikan lagu wajib anak-anak yang baru belajar menghafal abjad, ”a-b-c-d-e-f-g—h-i-j-k-l-m-n—o-p-q-r-s-t-u—v-w-x-y-z”, aku pun ikut menyanyikannya. Ade-ade aje Dava niy... Baguuusss... akhirnya selesai juga tulisan ”Tyas” pada salah satu hasil karyanya. Dengan bangganya aku nyletuk, ”Ntar dipajang ya... buat kenang-kenangan...” Dava malah bilang, ”Nanti malem aku sama ayah mau fotokopi ini semuanya, terus dibagi ke orang-orang”. Dengan sangat tidak menunjukkan rasa empati, aku komen, ”Dibagi ke siapa? Emang ada yang mau?”, sambil tertawa kecil. Dava juga ketawa. Setelah namaku terukir dengan spidol biru, giliran tulisan AYAH, BUNDA (awalnya, Dava nulisnya BUDAN, trus ambil kertas lagi, dibnerin jadi BUNDA), NINI, HESTI, dan yang terakhir SITI. NINI brati Mba Nini; HESTI, anak kos juga, yang agaknya menarik perhatian Dava (cie...cie...); dan SITI, mantan baby sitter Dava yang uda pulang kampung dan ga balik lagi, tampaknya Dava kangen Mba Siti...
Aku meminta Dava untuk menghitung gambar yang ia hasilkan. Total ada 8-9 gambar. Subhanallah... anak ini kalo mood-nya lagi bagus, bisa juga dijinakkan. He...he...
Uda jam empat niy... ”Kayaknya ayah pulang...”, kata Dava. Ga kaya orang dewasa yang pamitan sebelum mohon diri, Dava langsung beranjak dari duduknya dan ngeloyor meninggalkanku. Huh! Akhirnya aku yang say goodbye, ”Dah, Mas Dava... kapan-kapan main sini lagi ya... ba-bay...”, tanpa didengar olehnya yang tidak menghiraukan aku waktu itu. Hiks... yes, akhirnya aku bisa mandi! Pas aku mau keluar kamar, eh, Dava datang lagi, ”Ayah belom pulang. Nggambar lagi ah...”, eh... si Dava masuk kamarku lagi dan mengutak-atik spidol plus kertas yang emang belom aku beresin. Dengan perasaan sedikit khawatir terhadap barang-barangku, aku membulatkan tekad untuk meninggalkan Dava sendiri di kamarku demi membersihkan diri alias mandi. Seselesainya aku mandi, eh, bocah itu uda menghilang dari kamarku. Dava... Dava... ga enak kan, dicuekin...?
Aku merasa perlu mengabadikan momen sejam bersama Dava ini ke dalam sebuah tulisan dan membagikannya kepada teman-teman yang sudi membaca sepenggal kisah hidupku ini (hallah...). Moga-moga ada ibroh (pelajaran/hikmah) yang bisa dipetik dari pengalamanku ini. Aku sendiri merasa mendapatkan banyak sekali ibroh. Pelajaran tentang membujuk anak kecil agar mau bersikap baik, menkondisikan agar ia ’betah’ bersamaku, melatih spontanitasku mengomentari pertanyaan dan pernyataan polosnya, dan mengendalikan dominasi dan intervensiku terhadapnya, juga menata hati agar tidak mudah nge-burn (jengkel, sebel, mutung) saat menghadapi anak kecil, juga belajar menaruh kepercayaan kepadanya bahwa ”He can be a good boy... He’s fine...”
Wallahu a’lam bi showab
- t y - Yk, 26 Okt 2007 14.04 WIB di sela-sela himpitan UTS yang butuh perjuangan
Picture taken from: http://www.childcareaware.org/images/category_icons/child_care_101.gif















