Minggu, 10 Januari 2010

Bersama Dava



Alhamdulillah… ujian Psikologi Lingkungan & Psikologi Hukum uda berlalu – tepatnya – baru aja selesai. Perjuangan yang patut diperhitungkan. Coz materi ujian yang ga sedikit – dan kami ga mungkin menghafalnya – maka ketika mengerjakannya, kami boleh m’buka buku, handout, catatan, atau referensi lain (alias open book). walopun open book, tetap aja ujian hari itu (kamis/251007) sangat memeras otak dan tenaga. Masing-masing mata kuliah Cuma terdiri dari 5 soal, tapi essay... aplikasi dan penalaran pula... ditambah lagi, aku ga taw kalo ujian kedua mata kuliah itu tuh open book… yang ada, aku sibuk m’bolak-balik handout coz aku ga hafal letak stiap materinya. Payah banged yak?! caps de...

Dalam rangka untuk menyejukkan hati dan pikiranku karena mengalami post-examination syndrome (hallah… sok ng-istilah! Padahal ga ada istilah itu…), segera kulaksanakan sholat dzuhur di Musholla Al-Hikmah – musholla yang sebenarnya milik Fakultas Filsafat, tapi secara letaknya dekat dengan gedung kuliah Fakultas Psikologi, maka kami sering mengunjunginya untuk sholat atau tempat janjian.

Saatnya pulang… begitu sampe WA (Wisma Ana), aku ga langsung menuju kamarku, tapi mampir ke kamar mbaNin yang ada di sebelah kamarku lantaran mlihat sesosok mungil yang kukenal sedang duduk ga jelas di dalam kamar mbNin. Dava! Dava ini cucunya Ibu kos yang stiap harinya ditinggal ayah-bundanya bekerja. Kedua eyangnya – yakni bapak-ibu kos – sedang ada di Jakarta, di tempat budenya Dava. So, untuk beberapa hari ke depan, sepulang dari sekolahnya di TK Masjid Kampus UGM, Dava mengunjungi kami – anak-anak kos karena di rumahnya ga ada orang. Aku yang memang setelah Idul Fitri belum bertemu Dava, langsung menghampirinya, ”Eh, ada mas Dava... lagi ngapain?”. MbaNin yang saat itu sedang dandan karena maw pergi ke kampus, terus menyuruh Dava untuk menyalamiku, ”Ayo, salaman sama mbaTyas... belum salaman kan?” Dengan gerakan yang malu-malu plus paksaan (baca: seretan) mbaNin, akhirnya Dava menyalamiku. ”Ngomongnya apa hayo...”, godaku. Beberapa detik kemudian mbaNin keluar kamar. Tinggallah aku bersama Dava. Eh, melihat mbaNin keluar kamar, Dava pun ikut-ikutan keluar. ”Yah... mbaTyas qo ditinggal sendirian? Mas Dava di sini aja...” Dava tersenyum mengejek sambil berusaha menutup pintu kamar mbaNin, tapi gagal karena ada pengganjal pintunya. Ha... ha... ha... kutarik pintunya, kuganjal dengan kakiku. Menang aku dong... Dava yang tingginya ga lebih dari pinggangku jelas kalah dariku yang badannya segede gini. He... he... Dava terlihat jengkel karena ga berhasil mengerjaiku. Tau ga, apa yang dia lakukan? Menendangku! Ya, dengan kekuatannya yang ga seberapa tapi cukup menyakitkan itu dia menendang lututku. Daripada tambah membuatnya marah, aku keluar dari kamar mbaNin dan langsung menuju kamarku yang ada di sebelahnya sambil berucap, ”Mas Dava nakal!” Btw, anak-anak kos – terutama aku – emang manggil Dava dengan menambahkan Mas di depannya karena bulan November tahun lalu Dava punya ade, Farrel namanya. Untuk membahasakan, jadi kami memanggilnya Mas Dava. Sekarang ini Farrel sedang ada di Klaten, bersama eyangnya yang lain. Ga mungkin dong, ditinggal di Jogja...

Begitu masuk kamar, ingin rasanya langsung kurebahkan tubuh ini di atas kasur berselimut seprai ungu yang bentuknya tidak terlalu rapi itu (maap... sebelum ke kampus tadi ga sempat mberesin kasur seberes-beresnya). Tapi perut ini juga tak kuasa menahan lapar yang teramat... Sebelum bersiap untuk having lunch, aku wira-wiri dalam kamarku. Ngambil ini lah... ngambil itu lah... Dava yang memang ga ngerti maw ngapain (karena mbaNin juga uda berangkat ke kampusnya) mondar-mandir aja di depan kamarku. ”Mas Dava sini aja, maen di kamar mbaTyas... belum pernah ke sini kaaannn???”, sahutku manja (bermanja-manja: salah satu teknik persuasif dengan sasaran anak kecil di bawah umur. He... he...). Dava nyuekin aku sambil ngeloyor menjauhi kamarku. Mba Irma yg lagi nyuci baju di tempat yang ga jauh dari kamarku berkomentar, ”Duh... Tyas qo nggodain anak kecil sih...”, dengan cara bicara yang menggou-da. ”Habis... dia tidak menggodaku, jadi kugoda saja dia...”, cara bicaraku pun ikut-ikutan menggou-da. Ga usah dibayangin ya, teman-teman... Kalo bukan di WA, ga akan aku bicara dengan gaya kaya gitu. Apa kata dunia???

Kuabaikan Dava. Paling-paling dia ga berminat bertandang (hallah, bertandang...) ke kamarku. Sambil menyiapkan lunch yang kubeli di Pink (warung di Samirono yang bercat pink, kami menyebutnya warung Pink. Ada juga warung Merah, Kuning, dan Ijo. Kaya pelangi aja yak?) sebelum pulang ke WA tadi, aku sedikit membereskan kasur dan meja belajarku yang penuh dengan barang-barang yang sebenarnya bukan di situ tempatnya. Setengah tiga! Subhanallah... ternyata uda mau sore lagi... time is running out so fast.

Kuposisikan diriku se-PW mungkin untuk menyantap makan siangku. Baru membuka bungkusnya, aku terusik untuk menoleh ke arah pintu kamarku. Ngek! Dava uda berdiri di sana sambil senyum-senyum. Naga-naganya sih dia hendak mengagetkanku. Aku menang lagi... dia ga berhasil mengerjaiku. Wuek...kek...kek...kek...

”Eh, Mas Dava ke sini... ayo masuk... Mba Tyas mau maem... sini, sini, duduk sini...”, bujukku sambil meminta Dava untuk duduk di kasurku, terpaksa beberapa buku yang tergeletak di atas kasur kupindahkan ke meja demi memberi tempat untuk Dava duduk. Dia ga duduk, malah mendekatiku dan makan siangku. Jujur niy, perasaan senangku atas kedatangan Dava ke kamarku bercampur dengan kekhawatiranku akan tingkahnya yang unpredictable (bisa-bisa seisi kamarku berpindah tempat karena keonaran Dava. Mklum bae-lah... bocah cilik...). ”Mba Tyas mau maem... Mas Dava uda maem belom? Maem bareng yuk... Sini Mba Tyas suapin...”, terangku (sok baik ;p) sambil mulai menempelkan sendok ke makananku. ”Udah, di sekolah...”, jawab Dava. ”O... ya uda... Mba Tyas makan ya...”, sambil memasukkan suapan pertama ke dalam mulutku dengan didahului dengan doa sebelum makan. Mmm... nikmatnya... alhamdulillah... pada saat yang hampir bersamaan, adzan Ashar terdengar nun jauh di sana.

Dava belingsatan di atas lantai kamarku yang ga terlalu bersih juga, tapi cukup aman untuk tempat bermain Dava. Aku meneruskan makanku sambil berdoa dalam hati, Ya Alloh, lindungilah hamba... semoga Dava ga ngapa-ngapain... (ngapa-ngapain refer to melakukan hal aneh yang bisa mengganggu ketentraman jiwaku. Hiperboils yak?). Dava memperhatikan jam meja yang saat itu terletak di atas lantai di bawah meja printer (letak yang aneh...). Ia mencocokkannya dengan jam dinding yang tergantung di atas meja belajarku. ”Lho, ini jarum panjangnya ada di angka delapan, kok yang itu di angka sebelas?”, tanyanya dengan polos. Kritis sekali anak ini... pikirku. Aku memang sengaja mengeset jam dindingku lima belas menit lebih cepat daripada jam mejaku. Maksudnya sih supaya aku menyegerakan urusanku ketika melirik jam dindingku. Seolah-olah... padahal sama aja ya... kan yang ngeset aku sendiri. Lagian jam mejaku menunjukkan waktu yang sebenarnya. Ga tralu ngefek sih, tapi lumayan lah... bisa menjadi pemacuku untuk lebih berdisiplin (cara disiplin yang aneh...). Untuk menjawab pertanyaan Dava tadi, aku jelaskan bla...bla...bla... tapi nampaknya dia ga ngerti juga... ya iya lah... anak kecil...

Dari jam, ia beralih ke atas CPU. ”Wah... spidolnya warna-warni...”, ungkapnya disertai dengan senyuman. ”Iya... lucu kaaannn???”, tukasku, narsis. ”Mas Dava suka nggambar ga? Niy, kalo mau nggambar, pake spidol ini aja... ini kertasnya...”, aha! Aku menemukan cara untuk menghindarkan Dava dari hal yang mengancamku. Kuambil segepok spidol dalam tempat pensil dari atas CPU plus kertas bekas ngeprint yang ga lagi terpakai karena salah ngeprint dari atas kardus yang letaknya di bawah meja print. ”Niy, ayo gambar... pilih spidol yang warna apa? Mas Dava suka warna apa?”, tanyaku. ”Merah”, jawabnya. Dava mengambil spidol merah yang alhamdulillah masih bisa dipakai dengan baik. Sebetulnya segepok spidol itu ga smuanya bisa dipake. Cuma, aku belum sempat mengeceknya satu per satu. Aku meneruskan makanku yang baru setengah jalan itu sambil sesekali melihat ke arah Dava yang sedang menggambar. Wah, Dava bisa jadi subjek TIA (Tes Inteligensi Anak)-ku niy... kalo maw PDKT secara intensif, aku bisa membawanya ke kampus. ”Mas Dava kapan-kapan main ke kampus Mba Tyas yuk...”, pintaku, disela-sela aktivitas menggambarnya. Hiks, dicuekin niy... walopun oleh anak kecil, yang namanya dicuekin, ya mak jleb-jleb... sabar, Ty... katanya mau jadi Psikolog Perkembangan... masa baru dicuekin gitu aja nyerah... ”Emang Mas Dava sekolah sampe jam berapa?”, tanyaku lagi. ”Jam dua...”, kali ini Dava menjawab. Hmm... jam dua... kalo jadi, praktikum TIA-ku juga mulai jam dua, hari senin. Kalo Dava tetap mau kujadikan subyek, apa ga cape? Gimana ya, teknik persuasinya?

Aku mempercepat makanku dengan tujuan supaya aku bisa cepat-cepat membersamai Dava menggambar. Beberapa kali setelah menggambar suatu bentuk, Dava memperlihatkannya padaku. ”Ini rumah, ada tanduknya”, pamernya. ”Oh, iya... qo ada tanduknya sih, Mas? Buat apa? Buat hiasan ya?”, tanyaku basa-basi, sebagai apresiasi terhadap gambarnya. ”Iya, buat hiasan”, jawabnya agak ragu. Aku menyesal telah menanyakan pertanyaan dengan pilihan jawaban. Seharusnya aku bisa menggali kreativitasnya dengan membiarkan Dava menjawab apa pun yang dia mau.

Gambar demi gambar ia buat. Lucu-lucu, ada rumah bertanduk, rumah bercerobong asap, jalan simpang tiga dengan segitiga di tengahnya, mobil yang melintas di jalan, pot bunga yang lancip di dasarnya (mana bisa berdiri yak?!), matahari di sudut kiri atas, awan yang menumpahkan air hujan, burung-burung ’endutz’ (coz badannya bulet banged), pesawat terbang yang ukurannya sama dengan burung, dan karena mendung – kata Dava – maka ada petir yang keluar dari awan dan mengenai salah satu burung. ”Waduh, burungnya kasihan kena petir... jadi burung bakar dong...”, teu-teup ya, apa pun gambarnya, kuliner mulu komentarnya... he...he... ”Engga, ini pura-puranya burungnya ada di depan petir, jadi ga kena...”, jelasnya. ”O... gitu...”, ujarku mengiyakan. Oke juga imajinasi anak ini...

Berbagai warna spidol ia coba. Sebetulnya aku yang memintanya untuk mencoba spidol warna lain selain merah (duh, aku mematikan kreativitasnya lagi!). Dava mulai menggambar laut dengan menggoreskan spidol orange di atas kertas membentuk gelombang air. Hampir aja aku nyeletuk, ”Masa air warnanya oren?”, tapi aku tahan. Kali ini aku ingin membiarkannya berkreasi, sepertinya sejak tadi aku sudah cukup banyak mengintervensinya. Ada kapal layar di atas gelombang air itu. Di bawah gelombang air, Dava membagi menjadi tiga kotak dan diisinya dengan bentuk V, rumput, pikirku. Rumput? Masa sih, di bawah air ada rumput? Oh iya, saat itu di kamarku sudah terputar sinetron ”Si Entong” di TV (untung aku menemukan acara yang pas untuk anak seusia Dava, dan ia emang suka nonton ”Si Entong”) dan sudah dipenuhi oleh Mba Irma, Mba Antin, dan Ririn yang juga ingin melihat tingkah Dava. Ok, kembali ke... rumput... dengan penuh keheranan, aku nyeletuk, ”Lho, di laut qo ada rumput, sih, Mas?” Untuk menghilangkan keherananku, aku berimprovisasi, ”O... rumput laut ya...?” sing... komentar yang aneh... eh, Dava malah mengiyakan... Lagi, aku mengintervensinya.

Setelah beberapa hasil karya Dava hasilkan, aku sempat bertanya-tanya, qo ga da gambar gunung ya? Zamanku kecil dulu, kalo ada perintah menggambar, pasti tangan ini bergerak membentuk dua buah gunung simetris dengan matahari pagi menyembul di tengahnya. Di bawah gunung - tepatnya di tengah – kutarik garis membentuk jalan (lurus atau berkelok, tergantung mood) dengan sepetak sawah di sebelah kiri dan kolam ikan di sebelah kanan. Mostly, teman-teman juga akan menggambar hal yang sama kan? Lain halnya dengan Dava, ketika kutanya apakah dia suka menggambar gunung atau ga, ia menjawabnya, ”Engga”. Namun, karena hasil intervensiku juga, Dava memaksakan diri menggambar gunung seperti yang kugambarkan di atas, tapi tanpa kolam ikan, hanya ada sawah di masing-masing sisi jalan. Jika kuperhatikan, gambar gunung dan laut orennya tadi ga digambar dengan sepenuh hati oleh Dava. Ya iya lah... wong ga mau, qo yo dipekso... aku ga maksa juga sih... tapi penasaran aja, coz this boy is different...

Banyak kertas Dava habiskan untuk menggambar. Aku ga kuatir kertasku habis, coz aku emang punya banyak kertas bekas ngeprint yang sisi sebaliknya masih kosong warisan Mba Noe yang uda hengkang dari WA. Agaknya Dava cape menggambar. Ia berganti menulis nama-nama. Nama pertama: THOMAS. Katanya, Thomas adalah tokoh kartun pesawat yang bisa berbicara di salah satu VCD yang ia punya. Ga terasa uda jam empat waktu jam dindingku, brati uda satu jam aku bersama Dava. Di sela-sela Dava sibuk dengan spidol dan kertasnya, Dava bilang, “ Ayah pulang jam empat. Nanti aku mau bilang ayah kalo aku habis nggambar di kamarnya mba kos...” Dengan mengernyitkan dahi, “Mba kos yang mana? Emang namanya siapa?”, tanyaku menyelidik. ”Ngga tau”, jawabnya. ”Ih, Mas Dava nakal! Masa udah lama nggambar di sini ga tau nama yang punya kamar... Mas Dava jahat...”, aku merajuk sambil merengut (ga penting banget de... demi Dava niy, acting!). Eh, si Dava malah ketawa. Heran aja, masa dia ga tau namaku? Dulu aja, waktu kami ketemu di depan kos, dengan penuh perhatiannya Dava tanya, ”Mba Tyas habis sakit ya?” Aku terharu... masa sekarang dia lupa? Lagian kan sejak pertama berinteraksi, aku slalu menyebut diriku dengan ”Mba Tyas”, bukannya aku, saya, atau hanya mba... hu...hu...sedih... ”Coba sekarang Mas Dava baca di pintu, ada namanya di situ”, sengaja aku ga langsung membocorkan namaku, usaha dong! Kuminta Dava melihat tulisan dari gabus sisa acara di kampus setahun lalu yang kutempel di pintu kamar berbunyi ”Welcome to Tyas’s Palace”. Mh... jadi pengen malu... Dava menyebut, ”Tyas, tyas...”. Aku senang... ”Iya, ayo sekarang tulis di kertas”, maksa banget yak! Dava yang masih asing dengan huruf ’Y’ bertanya,”Habis ’T’ apa?” Aku menjawab, ”Habis ’T’, trus ’Y’...” Dava berpikir, ”’Y’... ’Y’ itu sebelum ’Z’ ya?” Kalo yang nanya bukan Dava, bakalan kujawab, ”Ya iya lah...”, tapi berhubung yang nanya Dava, maka aku mengiyakan dengan halus. Dava yang belum yakin dengan jawabanku langsung menyanyikan lagu wajib anak-anak yang baru belajar menghafal abjad, ”a-b-c-d-e-f-g—h-i-j-k-l-m-n—o-p-q-r-s-t-u—v-w-x-y-z”, aku pun ikut menyanyikannya. Ade-ade aje Dava niy... Baguuusss... akhirnya selesai juga tulisan ”Tyas” pada salah satu hasil karyanya. Dengan bangganya aku nyletuk, ”Ntar dipajang ya... buat kenang-kenangan...” Dava malah bilang, ”Nanti malem aku sama ayah mau fotokopi ini semuanya, terus dibagi ke orang-orang”. Dengan sangat tidak menunjukkan rasa empati, aku komen, ”Dibagi ke siapa? Emang ada yang mau?”, sambil tertawa kecil. Dava juga ketawa. Setelah namaku terukir dengan spidol biru, giliran tulisan AYAH, BUNDA (awalnya, Dava nulisnya BUDAN, trus ambil kertas lagi, dibnerin jadi BUNDA), NINI, HESTI, dan yang terakhir SITI. NINI brati Mba Nini; HESTI, anak kos juga, yang agaknya menarik perhatian Dava (cie...cie...); dan SITI, mantan baby sitter Dava yang uda pulang kampung dan ga balik lagi, tampaknya Dava kangen Mba Siti...

Aku meminta Dava untuk menghitung gambar yang ia hasilkan. Total ada 8-9 gambar. Subhanallah... anak ini kalo mood-nya lagi bagus, bisa juga dijinakkan. He...he...

Uda jam empat niy... ”Kayaknya ayah pulang...”, kata Dava. Ga kaya orang dewasa yang pamitan sebelum mohon diri, Dava langsung beranjak dari duduknya dan ngeloyor meninggalkanku. Huh! Akhirnya aku yang say goodbye, ”Dah, Mas Dava... kapan-kapan main sini lagi ya... ba-bay...”, tanpa didengar olehnya yang tidak menghiraukan aku waktu itu. Hiks... yes, akhirnya aku bisa mandi! Pas aku mau keluar kamar, eh, Dava datang lagi, ”Ayah belom pulang. Nggambar lagi ah...”, eh... si Dava masuk kamarku lagi dan mengutak-atik spidol plus kertas yang emang belom aku beresin. Dengan perasaan sedikit khawatir terhadap barang-barangku, aku membulatkan tekad untuk meninggalkan Dava sendiri di kamarku demi membersihkan diri alias mandi. Seselesainya aku mandi, eh, bocah itu uda menghilang dari kamarku. Dava... Dava... ga enak kan, dicuekin...?

Aku merasa perlu mengabadikan momen sejam bersama Dava ini ke dalam sebuah tulisan dan membagikannya kepada teman-teman yang sudi membaca sepenggal kisah hidupku ini (hallah...). Moga-moga ada ibroh (pelajaran/hikmah) yang bisa dipetik dari pengalamanku ini. Aku sendiri merasa mendapatkan banyak sekali ibroh. Pelajaran tentang membujuk anak kecil agar mau bersikap baik, menkondisikan agar ia ’betah’ bersamaku, melatih spontanitasku mengomentari pertanyaan dan pernyataan polosnya, dan mengendalikan dominasi dan intervensiku terhadapnya, juga menata hati agar tidak mudah nge-burn (jengkel, sebel, mutung) saat menghadapi anak kecil, juga belajar menaruh kepercayaan kepadanya bahwa ”He can be a good boy... He’s fine...”

Wallahu a’lam bi showab

- t y - Yk, 26 Okt 2007 14.04 WIB di sela-sela himpitan UTS yang butuh perjuangan

Picture taken from: http://www.childcareaware.org/images/category_icons/child_care_101.gif

apeL masAm?

“Dulu, waktu aku masih sangat kecil, aku memanjat pohon dan memakan apel-apel hijau yang masam. Perutku kembung dan jadi keras seperti genderang, rasanya sakit sekali. Kata ibu, kalau aku menunggu apel itu masak, aku tidak akan sakit. Jadi, sekarang setiap aku sangat menginginkan sesuatu, aku mencoba mengingat yang dikatakan ibuku tentang apel itu.” (The Kite Runner - 2003)

Filosofi ‘apel masam’ ini telah terpatri dalam diri saya. Sama seperti Sohrab – bocah dalam kisah itu – yang mengatakan kalimat di atas, ketika saya sedang berambisi mengejar sesuatu, saya akan mengingat ‘apel masam’.

“Gue banget!”, komentar yang pertama kali meluncur dari bibir saya ketika membaca perkataan Sohrab tadi. Apalagi bila dicocokkan dengan kondisi diri saya saat ini, ‘apel masam’ menjadi pelajaran berarti untuk saya. Dilatarbelakangi oleh beberapa keputusan yang saya ambil secara terburu-buru, sehingga membuat saya tersakit-sakit pada akhirnya, maka saya tidak ingin terperosok ke dalam jurang yang sama untuk yang kedua kalinya.

Agak rumit memang, ketika saya harus bersabar menunggu hingga apel itu matang dan berasa manis. Apel yang ada di depan saya – apa pun warnanya, bagaimana pun rasanya – ingin cepat-cepat saya makan. Tanpa memikirkan konsekuensi yang harus saya terima setelah memakannya dan tanpa mengantisipasi langkah apa yang harus saya ambil ketika rasa sakit itu datang.
Padahal, kalau mau bersabar sedikit, saya bisa menunggu hingga apel itu matang, sehingga ketika memakannya pun saya merasakan kesenangan karena manisnya apel itu, dan tidak ada rasa sakit yang menyerang perut saya.

Kalau saja mau bersabar...

- t y -
Yk, 29 Oktober 2008
23.15 p.m.

Picture taken from: http://anakjenius.files.wordpress.com/2009/06/herba-prana-buah-apel-297x300.jpg

The kiTe ruNNer


Buku ini saya temukan berbulan-bulan lalu di Social Agency Baru, Sagan – toko buku langganan saya. Namun, baru pada bulan September lalu mata saya tertuju padanya, tangan saya menggenggamnya, otak saya merekam tampilan covernya, hati saya tergerak untuk membacanya, dan kocek saya mampu membelinya (ujung-ujungnya duit, heheh...).
Adalah Amir, seorang anak berumur 12 tahun. Ia tinggal bersama ayahnya – yang disebutnya Baba jan. Baba merupakan seorang pengusaha sukses yang kaya raya dan terkenal dermawan dan memiliki banyak koneksi. Oleh karena sikap dermawannya, Baba disukai banyak orang karena dapat dengan mudah mendapat pinjaman uang darinya. Namun, tidak demikian dengan Amir.
Amir tidak suka dengan sikap Baba jan yang dingin. Amir menganggap bahwa kekakuan sikap Baba jan merupakan perwujudan sikap marahnya terhadap Amir karena telah menyebabkan istri tercintanya meninggal saat melahirkan Amir. Amir berpikiran bahwa sikap Baba jan tidak akan berubah terhadapnya. Selain itu, Amir juga tidak menyukai sikap Baba jan yang sering membandingkan dirinya dengan Hassan.
Di rumah megah itu, Baba jan dan Amir tinggal bersama seorang pelayan – Ali – dan anaknya – Hassan yang satu tahun lebih muda dari pada Amir. Ali adalah seorang Hazara – suku yang dianggap rendah di Afghanistan – jauh di bawah kaum Pashtun yang memiliki kehormatan tinggi dan dianggap paling pantas berpijak di bumi Afghanistan. Ayah Baba memungut Ali dan membiarkannya tumbuh bersama Baba selama 40 tahun hingga menjadi pelayan Baba. Tampaknya hal ini akan terulang pada kehidupan Amir dan Hassan. Meskipun Hassan hanyalah seorang anak pelayan hazara, sehari-harinya Amir menghabiskan waktu bersamanya – bermain, membacakan cerita, menonton film di Cinema Park, dan menjadi tandem dalam festival layang-layang di kota Kabul.
Persahabatan Amir dan Hassan begitu indah, sampai pada suatu hari hal yang amat buruk terjadi. Suatu peristiwa traumatis bagi Hassan yang menjadikan Amir menyesal seumur hidup. Menyesal karena tidak mampu berbuat apa pun untuk Hassan yang selama ini setia kepadanya. Peristiwa yang membuat Amir menjadi dirinya yang jauh dari harapan Baba jan.
Peristiwa demi peristiwa terjadi mewarnai kehidupan Amir. Perginya Ali dan Hassan dari rumah, pendudukan tentara Soviet yang mengancam hidup Baba jan, hijrahnya Amir dan Baba jan dari Kabul, sampai pada telepon Rahim Khan yang menjanjikan Amir untuk bisa membayar rasa sesalnya di masa lalu – bahwa ada jalan untuk kembali menuju kebaikan.
Buku ini bercerita tentang kehidupan Amir dan orang-orang di sekitarnya – Baba jan, Rahim Khan, Hassan, Soraya jan, dan yang lainnya. Bersetting di Afghanistan, cerita ini penuh dengan konflik fisik maupun batin, sarat akan nilai moral, dan bisa menjadi inspirasi dan refleksi bagi para pembaca yang menyukai kebudayaan Islam, konflik kemanusiaan yang terjadi di timur tengah – yang melibatkan Taliban, serta permainan kata yang bisa mengobrak-abrik emosi. Penulisnya, Khaled Hosseini – seorang dokter spesialis penyakit dalam ini – rupanya sangat berbakat dalam hal menulis fiksi. The Kite Runner merupakan novel karya pertamanya, novel Afghan pertama berbahasa Inggris, sekaligus menjadi buku terlaris sepanjang 2005.
Salah satu faktor yang membuat saya berhasrat untuk membaca buku ini adalah telah dibuatnya film The Kite Runner. Satu kebiasaan saya, apabila saya menemukan sebuah film yang diilhami dari buku – atau sebaliknya – apabila saya menemukan buku yang akan-sedang-sudah dibuat filmnya, maka sebisa mungkin saya membaca bukunya sampai habis, baru kemudian saya tonton filmnya. Simple saja, saya ingin memiliki gambaran mengenai tokoh, setting, dan alur cerita melalui buku sebelum menonton filmnya. Dengan demikian, walaupun visualisasi dari film telah saya dapatkan, namun saya tidak kehilangan imajinasi dan harapan akan tokoh, setting, maupun alur cerita yang saya ciptakan sendiri melalui buku. Idealisme itu tetap saya pegang, meskipun untuk beberapa film yang diilhami buku, saya tonton dengan tidak didahului membaca bukunya. Contohnya, Harry Potter, Timeline, A Beautifull Mind, The Lord of the Rings, Eragon, dan Narnia.
Sedikit mengkritisi film The Kite Runner. Seperti kebanyakan film yang berangkat dari buku, dalam film The Kite Runner ini terdapat pemotongan alur dan adegan yang tidak sesuai dengan bukunya. Sebuah permakluman yang lumrah apabila sutradara film melakukan hal semacam ini: menghilangkan secuil bagian peristiwa demi tersampaikannya sebagian besar isi cerita. Sama lumrahnya ketika Presiden AS Truman menjatuhkan bom di Hiroshima dan Nagasaki dengan alasan (sok) bijak: menyingkirkan ratusan nyawa demi menyelamatkan jutaan nyawa lainnya. But after all, saya tidak terlalu kecewa saat menonton filmnya. Beberapa visualisasi yang ditampilkan dalam film cocok dengan imajinasi yang telah saya bangun ketika membaca bukunya. Good enough! Namun, tetap saja saya menyarankan untuk membaca bukunya terlebih dulu sebelum menonton filmnya. Saya khawatir imajinasi pembaca akan terdistorsi ketika membaca buku setelah menonotn filmnya. Lagipula, saya tidak yakin penonton akan membaca buku setelah menonton film, karena rasa penasaran tidak lagi muncul.
Bagi para pembaca yang menginginkan cerita yang tidak monoton dan menggugah rasa kemanusiaan, serta para penggemar film yang ingin mendapatkan visualisasi timur tengah yang kental, saya merekomendasikan The Kite Runner. Untukmu, keseribu kalinya...

- t y -
Yk, 29 Oktober 2008

Picture taken from: http://i.telegraph.co.uk/telegraph/multimedia/archive/01182/arts-graphics-2007_1182751a.jpg

ProfEsioNaLismE “chaMpiuN”


Sore itu, kala para pekerja lebih memilih bersantai di rumah melepas kepenatan setelah sehari penuh mencari nafkah, kala muda-mudi beredar – hang out – menunggu hadirnya malam, kala surya berpulang ke peraduan berganti hadirnya rembulan yang menerangi malam, saya pun memutuskan untuk keluar sejenak – mencari pemandangan yang lebih menyegarkan daripada berada seharian di kamar nomor 13 Wisma Ana, terlebih lagi berhadap-hadapan dengan layar monitor beserta tuts keyboard Notty yang – terkadang – mendatangkan pressure bagi otak ini (lebay dot com).
Menyusuri Jalan Profesor Herman Yohannes – atau yang sering disebut daerah Sagan – membuat mata saya tidak berhenti untuk tengok kanan-kiri, mencari gerobak martabak yang biasa mangkal di daerah Sagan ini. Di separuh ruas jalan itu, saya menemukan gerobak martabak yang saya cari. Sebenarnya, bukan martabak lah satu-satunya tujuan saya pergi sore itu. Sesuai planning yang saya buat, terlebih dulu saya memenuhi janji untuk mengambil foto di Jalan Urip Sumoharjo – alias Jalan Solo, setelah itu baru saya meluruskan niat untuk membeli martabak.
Martabak “Champiun”. Demikian merk dagang yang tertera di kaca gerobak itu. Tidak ketinggalan nomor telepon pemiliknya – untuk layanan delivery service mungkin. Dua pemesan sebelum saya datang sedang menunggu pesanannya siap. Ketika pemesan pertama sudah mendapatkan martabak di tangan dan pergi meninggalkan tempat itu, tinggalah saya dan pemesan kedua di sana. Martabak “Champiun” ini diawaki oleh dua orang – laki-laki (Main Chef) dan perempuan (asisten).
Seperti yang kita tahu, penjual martabak biasanya menjual dua jenis martabak: martabak telor dan martabak manis (orang Djogja menyebutnya Kue Terang Bulan). Di tengah-tengah proses pembuatan Terang Bulan, saya dikejutkan dengan aksi sang asisten yang membuang adonan kulit Terang Bulan setengah matang langsung dari loyang bundar tempat mencetak kue itu. Ternyata pemirsa, menurut Main Chef, adonan itu kurang mengembang, sehingga akan berpengaruh pada rasa yang dihasilkan oleh Terang Bulan itu. Dengan berat hati, Main Chef berambut jarang itu meminta maaf kepada pemesan kedua bahwa ia tidak bisa menjual Kue Terang Bulan yang adonannya gagal. Belajar dari produk gagal Terang Bulan itu, Chef memutuskan untuk tidak menjual Terang Bulan sepanjang malam itu. Bisa jadi malam itu menjadi malam yang terasa amat gelap bagi Chef dan asistennya karena tidak ada Terang Bulan yang terjual di tengah malam yang diterangi cahaya bulan itu (sok puitis nih ye...).
Tidak berlebihan apabila saya setuju dengan nama yang terpampang di gerobak martabak ini – “Champiun” – karena memang penjualnya memiliki jiwa pemenang sebagai pelaku bisnis yang jujur dan menjunjung tinggi profesionalisme. Padahal, bisa saja pada malam itu ia tetap menjual Terang Bulan, apa pun bentuknya, bagaimana pun rasanya. Namun, ia bersikeras untuk tidak menipu pelanggan karena rasa Terang Bulan yang tidak sesuai keinginan. Kerugian beberapa puluh ribu rupiah bersedia ia tanggung asalkan para pelanggan tidak lari darinya. Entah apa nama strategi pemasaran ini (karena saya tidak mempelajari ilmu Marketing), tetapi “Champiun” ini telah merebut hati pelanggan dengan profesionalisme yang senantiasa dijaganya.
Pengalaman saya di atas hanyalah sekelumit dari kisah profesionalisme para pedagang ‘kecil’ yang bisa kita temui di belahan bumi ini. Rasa malu sudah semestinya menjalar di benak para pelaku bisnis, pemegang kebijakan, pendidik, mahasiswa, atau profesi apa pun yang merasa belum mampu menjunjung tinggi profesionalisme dan tanggung jawab terhadap pekerjaan mereka. Tidak terkecuali diri saya. Tanpa ada cerita di atas pun seharusnya kita bisa bersikap profesional dalam bekerja dan berbuat.
Bahkan penjual martabak pun bisa bersikap profesional...

- t y -
Yk, 29 Oktober 2008

Picture taken from: http://semilirsunyi.files.wordpress.com/2009/02/54354_uang1.jpg

The pOwer Of foRgiviNg



Penelitian ilmiah tentang perilaku memaafkan merupakan sebuah terobosan baru dalam pendekatan konflik selama ini. Selama ribuan tahun, orang-orang telah mempraktekkan perilaku memaafkan dalam sistem agama. Baru-baru ini, bidang penelitian ilmiah tentang memaafkan menunjukkan berbagai manfaat.

Adalah Everett L. Worthington, Jr., Ph.D - seorang profesor psikologi di Virginia Commonwealth University – yang telah meneliti tentang memaafkan secara langsung diturunkan dari bidang ilmu yang ditekuninya yaitu problem klinis pada pasangan dan keluarga. Bersama dengan Michael McCullough and Steven Sandage (setelah meraih gelar sarjana), Worthington mengembangkan model untuk mempromosikan perilaku memaafkan yang dapat diaplikasikan dalam setting kelompok psikoedukasional. Model yang dihasilkannya telah diuji beberapa kali dan ditemukan efektifitasnya pada setting kelompok psikoedukasional, dan sebuah meta-analisis mendukung efektivitasnya.

“Kerendahan hati (humility) tidak meneriakkan karakternya. Ia merupakan kebajikan yang tak terdengar. Kita harus melakukan pendekatan secara halus padanya. Karena kesunyiannya, kita harus mendengar, melihat, dan merasakan perbedaan karakternya,” tulis Dr. Everett L. Worthington Jr. dalam bukunya Humility: The Quiet Virtue. Ia mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari dan mengajar bagaimana memaafkan dan keadilan bisa berjalan beriringan. Dalam buku bersampul tipis yang inspiratif ini, ia banyak menghadirkan asesmen pemikiran yang memprovokasi (thought-provoking) and penggerak jiwa (soul-stirring) dari kerendahan hati. Ia membubuhi tulisannya dengan kutipan kata-kata dari beberapa tokoh terkenal, di antaranya Helen Keller, T.S. Eliot, John Ruskin, dan Fyodor Dostoevsky.

Worthington menulis: “Komponen kerendahan hati adalah melihat dan menghormati sesuatu lebih besar dari diri kita”. Berhubungan dengan perilaku memaafkan, kerendahan hati menjadi salah satu faktor penyebab seseorang untuk memaafkan kesalahan orang lain. Seseorang yang memiliki kerendahan hati akan merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Melebihi kemampuannya, melebihi kekuatannya, melebihi apa pun yang ada di dunia ini. Selanjutnya, tidak lagi perasaan “rendah” ini ditujukan kepada sesama manusia, tetapi lebih daripada itu, kerendahan hati ditunjukkan oleh manusia di hadapan Tuhan Maha Segalanya. Karena perasaan sebagai makhluk yang “kecil” inilah seseorang tidak enggan meminta maaf dan memaafkan sesamanya.

Bersumber dari sebuah tulisan Cholis Akbar (020708) yang dimuat hidayatullah.com, “Forgiveness research” atau penelitian tentang perilaku memaafkan termasuk bidang yang kini banyak diteliti ilmuwan di sejumlah bidang keilmuan seperti kedokteran, psikologi dan kesehatan. Hal ini karena sikap memaafkan ternyata memiliki pengaruh terhadap kesehatan jiwa raga, maupun hubungan antar-manusia. Jurnal ilmiah EXPLORE (The Journal of Science and Healing), edisi Januari/Februari 2008, Vol. 4, No. 1 menurunkan rangkuman berjudul “New Forgiveness Research Looks at its Effect on Others” (Penelitian Baru tentang Memaafkan Mengkaji Dampaknya pada Orang Lain).

Dipaparkan pula bahwa berlimpah bukti telah menunjukkan perilaku memaafkan mendatangkan manfaat kesehatan bagi orang yang memaafkan. Lebih jauh dari itu, penelitian terbaru mengisyaratkan pula bahwa pengaruh memaafkan ternyata juga berimbas baik pada kehidupan orang yang dimaafkan.

Worthington Jr, beserta partnernya merangkum kaitan antara memaafkan dan kesehatan. Dalam karya ilmiahnya, “Forgiveness in Health Research and Medical Practice” (Memaafkan dalam Penelitian Kesehatan dan Praktek Kedokteran), di jurnal Explore, Mei 2005, Vol.1, No. 3, Worthington dkk memaparkan dampak sikap memaafkan terhadap kesehatan jiwa raga, dan penggunaan “obat memaafkan” dalam penanganan pasien.

Memaafkan dan Kesehatan
Penelitian menggunakan teknologi canggih pencitraan otak seperti tomografi emisi positron dan pencitraan resonansi magnetik fungsional berhasil mengungkap perbedaan pola gambar otak orang yang memaafkan dan yang tidak memaafkan. Orang yang tidak memaafkan terkait erat dengan sikap marah, yang berdampak pada penurunan fungsi kekebalan tubuh. Mereka yang tidak memaafkan memiliki aktivitas otak yang sama dengan otak orang yang sedang stres, marah, dan melakukan penyerangan (agresif).

Demikian pula, ada ketidaksamaan aktivitas hormon dan keadaan darah si pemaaf dibandingkan dengan si pendendam atau si pemarah. Pola hormon dan komposisi zat kimia dalam darah orang yang tidak memaafkan bersesuaian dengan pola hormon emosi negatif yang terkait dengan keadaan stres. Sikap tidak memaafkan cenderung mengarah pada tingkat kekentalan darah yang lebih tinggi. Keadaan hormon dan darah sebagaimana dipicu sikap tidak memaafkan ini berdampak buruk pada kesehatan.

Raut wajah, daya hantar kulit, dan detak jantung termasuk yang juga diteliti ilmuwan dalam kaitannya dengan sikap memaafkan. Sikap tidak memaafkan memiliki tingkat penegangan otot alis mata lebih tinggi, daya hantar kulit lebih tinggi dan tekanan darah lebih tinggi. Sebaliknya, sikap memaafkan meningkatkan pemulihan penyakit jantung dan pembuluh darah.
Kesimpulannya, sikap tidak mau memaafkan yang sangat parah dapat berdampak buruk pada kesehatan dengan membiarkan keberadaan stres dalam diri orang tersebut. Hal ini akan memperhebat reaksi jantung dan pembuluh darah di saat sang penderita mengingat peristiwa buruk yang dialaminya. Sebaliknya, sikap memaafkan berperan sebagai penyangga yang dapat menekan reaksi jantung dan pembuluh darah sekaligus memicu pemunculan tanggapan emosi positif yang menggantikan emosi negatif.

Kesehatan Jiwa
Selain kesehatan raga, orang yang memaafkan pihak yang mendzaliminya mengalami penurunan dalam hal mengingat-ingat peristiwa pahit tersebut. Dalam diri orang pemaaf, terjadi pula penurunan emosi kekesalan, rasa getir, benci, permusuhan, perasaan khawatir, marah dan depresi (murung).

Di samping itu, kajian ilmiah membuktikan bahwa memaafkan terkait erat dengan kemampuan orang dalam mengendalikan dirinya. Hilangnya pengendalian diri mengalami penurunan ketika orang memaafkan dan hal ini menghentikan dorongan untuk membalas dendam.
Kedzaliman

Harry M. Wallace dkk dari Department of Psychology, Trinity University, One Trinity place, San Antonio, AS menulis di Journal of Experimental Social Psychology, Vol 44, No. 2, March 2008, hal 453-460 dengan judul “Interpersonal consequences of forgiveness: Does forgiveness deter or encourage repeat offenses?” (Dampak Memaafkan terhadap Hubungan Antar-manusia: Apakah Memaafkan Mencegah atau Mendorong Kedzaliman yang Terulang?). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa menyatakan pemberian maaf biasanya menjadikan orang yang mendzalimi si pemaaf tersebut untuk tidak melakukan tindak kedzaliman serupa di masa mendatang.

Obat Memaafkan
Berdasarkan bukti berlimpah sikap memaafkan yang berdampak positif terhadap kesehatan jiwa raga, kini di sejumlah negara-negara maju telah dilakukan berbagai pelatihan menumbuhkan jiwa pemaaf dalam diri seseorang. Bahkan perilaku memaafkan ini mulai diujicobakan di dunia kesehatan dan kedokteran dalam penanganan pasien penderita sejumlah penyakit berbahaya.
Orang yang menderita resiko penyakit jantung koroner dan tekanan darah tinggi berpeluang mendapatkan manfaat dari sikap memaafkan. Telah dibuktikan bahwa 10 minggu pengobatan dengan menggunakan “sikap memaafkan” mengurangi gangguan kerusakan aliran darah otot jantung yang dipicu oleh sikap marah.

Rasa sakit kronis dapat diperparah dengan sikap marah dan kesal (dendam). Penelitian terhadap orang yang menderita sakit kronis pada punggung bawah menunjukkan bahwa rasa marah, sakit hati dan sakit yang dapat dirasakan secara inderawi lebih berkurang pada mereka dengan sikap pemaaf yang lebih besar.

Kampanye Memaafkan
Gerakan memaafkan yang dipimpin oleh Everett L. Worthington Jr., yang merupakan seorang psikolog klinis yang juga menjabat Direktur Marital Assessment, Therapy and Enrichment Center (Pusat Penilaian, Pemulihan dan Pengokohan Perkawinan) di Universitas tersebut. Situs ini menyediakan informasi seputar hasil penelitian seputar memanfaatkan ditinjau dari berbagai disiplin ilmu. Selain itu abstrak makalah konferensi ilmiah tentang memaafkan, nama para ilmuwan dan pusat-pusat penelitian ilmiah tentang memaafkan ini juga dapat dijumpai di situs ini.

Selain dampak baiknya pada kesehatan jasmani dan rohani, kaitan antara erat sikap memaafkan dengan hubungan antar-manusia, seperti hubungan suami istri, anggota keluarga, maupun anggota masyarakat juga telah banyak diteliti. Sikap memaafkan berpengaruh baik pada pemulihan hubungan antar-manusia tersebut.

“Memaafkan dapat mengobati seseorang, perkawinan, keluarga, masyarakat, dan bahkan segenap bangsa. Kami mengajak Anda bergabung dengan ”masyarakat-memaafkan kami” dan menjadi bagian dari usaha yang semakin berkembang dalam rangka menyebarluaskan anjuran memaafkan ke seluruh dunia. Kami menawarkan situs ini untuk mempelajari penelitian ilmiah tentang memaafkan, dan berbagi pengalaman Anda sendiri tentang memaafkan, atau terilhami oleh orang lain. Memaafkan adalah sebuah keputusan dan sekaligus sebuah perubahan nyata dalam pengalaman emosi. Perubahan dalam emosi itu terkait erat dengan kesehatan raga dan jiwa yang lebih baik.”

Hikmah Ilahiah
Nampaknya, ilmu pengetahuan modern semakin menegaskan pentingnya anjuran memaafkan sebagaimana diajarkan agama. Di dalam Al Qur’an, Hadits maupun teladan Nabi Muhammad SAW, memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang mendzalimi merupakan perintah yang sangat kuat dianjurkan. Salah satu ayat berkenaan dengan memaafkan berbunyi:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Asy Syuuraa, 42:40).

Catur Sari Widianingtyas
PS/05072
Isu-isu Kontemporer Psikologi Klinis
- 2008 -

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Cholis. Penelitian: Memaafkan Mendatangkan Kesehatan. http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=7135&Itemid=1
Worthington, Jr., Everett. Dimensions of Forgiveness. http://ebooks.ebookmall.com/ebook/209743-ebook.htm
Worthington, Jr., Everett. Humility: The Quiet Virtue. Virginia: Templeton Foundation Press. http://www.spiritualityandpractice.com/books/books.php?id=17554
http://www.iamasite.com/images/doodles/forgiving.jpg

Tabligh Akbar “Menggapai Cinta di Bulan Ramadhan”


Dengan ditemani oleh Goodday Coffemix yang tinggal sekali teguk di mug ungu bergambar fotoku (waduh!!!), aku mencoba menuliskan pengalamanku pada hari Sabtu (06/09/08) yang lalu. Semoga ga basi ya...

Sepekan sebelumnya, salah satu temanku yang berkuliah di Fakultas MIPA jurusan Kimia UGM memberitahukan perihal Tabligh Akbar yang diselenggarakan oleh KMFM (Keluarga Muslim Fakultas MIPA) ini. Waktunya: Sabtu, 6 September 2008 pukul 07.30-selesai bertempat di ruang apa... gitu (lupa namanya. Yang jelas, aku uda pernah masuk ke ruangan ini sebelumnya – waktu rapat koordinasi KKN dengan DPL). Sebenarnya, acara serupa juga banyak diadakan di lingkungan sekitar UGM, apalagi kalau mau melebarkan sayap ke UIN Sunan Kalijaga, UII, atau masjid-masjid di Jogja. Tapi yang membuatku berhasrat untuk menjadi peserta pada Tabligh Akbar ini adalah dua pembicara yang sudah kutunggu datangnya kesempatan untuk mengikuti forum beliau berdua. Siapa coba pembicaranya? Adalah Habiburrahman El Shirazy dan Sakti ‘Salman’ (ex-SO7) yang menjadi pembicara pada Tabligh Akbar yang bertajuk “Menggapai Cinta di Bulan Ramadhan”. Seneng deh...

Bukan apa-apa ya, tapi selama ini aku hanya mengenal Kang Abik melalui tulisannya dan mengenal Sakti tak lain adalah mantan gitaris SO7. Makanya, aku penasaran mendengar tausiyah Kang Abik langsung dari mulut beliau dan penasaran dengan proses hijrah Akhi Sakti yang terbilang mengejutkan. Ga lebay kan?

Mungkin akan lebih asyik kalau aku paparkan kronologis Tabligh Akbar ini yak!
1) Pembukaan pada pukul 08.15 oleh MC yang ‘kojay’ (kocak tapi jayus) Moh. Ibnu Abdurrahman. Sebelumnya, mohon maap kalau penulisan nama ga sesuai kenyataan, karena aku mengandalkan indera pendengaran dan short term memory-ku yang ga terlalu baik.
2) Tilawah Al Quran by Akhi Bayu Ihsan.
3) Sambutan ketua panitia, Rifky Yudhistira. Ada satu kalimat dari sang ketupat (ketua panitia) yang kucatat rapi: “Pelangi itu indah karena perbedaan warnanya”. Bener banget! Ga selamanya homogenitas itu indah. Oleh karenanya Allah menciptakan pelangi yang terdiri dari 7 warna untuk dinikmati keindahannya. Bukankah Allah juga menciptakan segala sesuatu di dunia ini secara berkebalikan? Ada kebaikan vs kejahatan, sehat vs sakit, lapang vs sempit, muda vs tua, hidup vs mati, dan masih banyak lagi negasi yang ada di alam semesta ini. Indah bukan?
4) Sambutan Mas’ul (ketua) KMFM, Aji Pangestu (???). Kalau ini kayaknya telingaku salah denger deh. Afwan kalo salah nama... jangan diambil hati...
5) Hiburan nasyid by KiVo (kayaknya sih kepanjangan dari Kimia Voice. Heheh,,, sotoy aja...).
6) Hiburan solo nasyid by Bayu Ihsan diiringi oleh gitar akustik by Rifa (salah ga ya, namanya...? duh, dari tadi tanya mulu yak!). keren...
7) Nah, ini acara intinya... muncullah sang moderator (lupa namanya... yang jelas, beliau berasal dari Jawa Barat dan aktif di BEM-KM. Itu yang kuinget...). Kang Abik & Akhi Sakti memasuki ruangan, mulai menata diri dan menata hati (apa coba?). Kesempatan menyampaikan tausiyah pertama kali diberikan kepada Akhi Sakti. Beberapa poin yang sempat kutulis di agendaku tentang tausiyah beliau:

U Sebagai hamba Allah, hendaknya cinta kita terhadap-Nya melebihi cinta kita terhadap teman atau pasangan kita. Sesungguhnya sebaik-baik cinta adalah cinta yang didasarkan pada kecintaan kita terhadap Allah SWT. Ana ukhibukum fillah... aku mencintaimu karena Allah...

U Segala keputusan yang kita ambil dalam hidup harus bermuara kepada Allah. Akhi Sakti mengungkapkan bahwa keputusannya untuk berhenti dari aktivitas ngeband pada 2006 silam merupakan keputusan untuk bertaubat dengan banyak pertimbangan. Pertimbangan bahwa ga bisa lagi menyalurkan hobi, ga bisa lagi nampang di TV atau kaset band-nya, dan pertimbangan lain yang – mungkin – lebih bersifat duniawi. Tapi lebih daripada itu semua, ada satu kekuatan yang mendorong beliau untuk meneruskan jalan taubatnya, yakni azzam untuk mendapatkan akhir yang baik. Beliau tidak ingin meninggal dalam keadaan sedang berjingkrak-jingkrak di panggung, melainkan beliau menginginkan meninggal dalam keadaan sujud, beribadah, menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah. Khusnul Khotimah. Itu yang beliau azzam-kan pada diri. Subhanallah...

U Beliau juga menyampaikan bahwa orang-orang yang telah dicatat oleh Allah masuk surga akan dimudahkan untuk melakukan amal ibadah, sedangkan orang-orang yang dicatat masuk neraka akan dimudahkan untuk melakukan kemaksiatan. Sudahkah kita merasa ringan dan dengan senang hati dalam melakukan amal ibadah dan kebaikan?

Nah, kali ini tausiyah dari Ustadz Habib alias Kang Abik. Beberapa poin yang kucatat:
V Hal pertama yang kucatat dari tausiyah Kang Abik adalah bahwa ciri-ciri orang yang dicintai oleh Allah di antaranya, ia tidak pernah bosan melakukan kebaikan. Pengen donk, jadi hamba yang dicintai oleh Rabb-nya... makanya, ty, janganlah bosan melakukan kebaikan. Let’s Fastabiqul Khairat!

V Diambil dari sebuah hadits shahih (aku lupa, ada yang tau?), Kang Abik menyampaikan bahwa seorang mukmin tidak akan pernah merasa kenyang akan kebaikan yang ia lakukan sampai kakinya menginjakkan surga. Subhanallah...

V Bicara tentang cinta (tentunya cinta kita kepada Allah ya...), Kang Abik memberi contoh nyata tentang shahabat Sa’d bin Musayid – yang saking cintanya dan rindunya menemui Allah – selama 40 tahun beliau selalu stand by di masjid sebelum muadzin mengumandangkan adzan. Istiqomah yang luar biasa...

V Namun, di balik komponen cinta – dalam bertauhid – seorang mukmin seharusnya menjadikan takut dan harap sebagai energi jiwa. Lihat saja shahabat Ali bin Abi Thalib yang selalu menagis saat bertakbir dalam sholatnya karena beliau takut kalau-kalau shalatnya tidak diterima oleh Allah. Betapa indah ketika kita – hamba Allah – menjadikan takut, harap, dan cinta sebagai dasar dalam beribadah kepadaNya...

V Sebagai penutup, Ustadz Habib menyampaikan, “Siapa pun yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah memahamkan ilmu kepadaNya”. Bersyukurlah...

Wokey... Setelah kalimat penutup tadi, aku memutuskan untuk tidak mencatat lagi karena sesi tanya-jawab dimulai... (apa hubungannya?). Yo wis, pokoke ada dua orang yang tanya: ikhwan dan akhwat. Pertanyaannya seputar bagaimana mempertahankan keistiqomahan beribadah. Trus muncul juga pertanyaan dari ukhti penanya yang duduk di barisan paling atas tentang fenomena film Ayat-ayat Cinta. Sssttt... di sini Kang Abik menyampaikan hal-hal behind the scene of AAC movie. Seru deh... kalo ga ikut ni Tabligh Akbar, aku ga akan tau tentang bagian yang off the record itu. Hihihi...

Wallahu a’lam bi shawab

- t y -
Yk, 9 September 2008
23.55 pm

Picture taken from: http://www.testcompany.com/archive/September2009-37/att-16378/bedug.jpg

Dalam rangka menjemput masa depan


Hari Selasa merupakan satu-satunya hari kuliahku. Selain Psikologi Kesukaran Belajar, mata kuliah lain yang membuatku semangat di hari Selasa adalah Isu-isu Kontemporer Psikologi Klinis. Gue banget! Dengan dosen yang bernama Rahmat Hidayat, S.Psi, M.Sc ini kuharap aku bisa mengasah kekritisan pikiranku dalam menyikapi berbagai hal yang berhubungan dengan Psikologi Klinis – bidang Psikologi yang kuminati.
Pak Rahmat sendiri sebenarnya sangat meminati Psikologi Ekonomi di samping Psikologi Klinis yang beliau kuasai. Makanya, ga jarang pula beliau memakai istilah perekonomian, marketing atau advertising ketika menyampaikan kuliah. Satu pengetahuan mulai beliau sampaikan segera setelah beliau membuka kelas dengan mengucapkan salam, “Assalamu’alaykum, selamat siang semuanya, selamat hari Selasa...”, kalimat salam terakhir membuat telingaku gerah mendengarnya. ‘Selamat hari Selasa’? Salam macam apa itu? Seperti mengerti kebingungan yang aku dan teman-temanku rasakan, beliau lalu menjelaskan. “Sudah pernah telepon ke Dagadu?” Hampir semua orang di kelas itu diam, tanda jawaban ‘belum’. Beliau melanjutkan, “Kalau belum, cobalah sekali-kali telepon ke sana, pasti telepon Anda akan dijawab dengan ‘Selamat hari Selasa, ada yang bisa kami bantu?’ Betul, saya ngga bohong, coba saja”. Bisa ditebak, beliau memang concern dengan Psikologi Ekonomi, sampai ciri khas greeting sebuah perusahaan pun beliau amati betul.
Sebagai awalan, beliau memaparkan tujuan mata kuliah Isu-isu Kontemporer Psikologi Klinis. Sekedar tambahan, beliau mengaku sebagai penganut paham fonetik dalam bahasa, sehingga beliau lebih sreg menyebut ‘Isyu’ daripada ‘Isu’, lebih mantap menurut beliau. Ada dua tujuan besar dari mata kuliah ini, yang kemudian di-breakdown ke dalam beberapa aspek, yaitu:
Q Memperluas wawasan tentang profesi Psikolog Klinis:
R Ranah kompetensi à seorang Psikolog Klinis harus memiliki beberapa kompetensi yang menjadikannya berbeda dengan psikolog bidang lain (ada 5 bidang dalam psikologi: Psikologi Umum & Eksperimen, Psikologi Perkembangan, Psikologi Pendidikan, Psikologi Sosial, dan Psikologi Klinis)
R Jenjang keahlian à jenjang keahlian merupakan hal yang penting dalam tumbuh-kembang ilmu apa pun. Ketika seseorang telah puas dengan title S1-nya tanpa ada keinginan untuk menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka ia tidak akan bisa berkontribusi lebih banyak bagi bidang keahliannya.
R Organisasi profesi à IDI dan berbagai wadah organisasi profesi yang ada di Indonesia sempat membuat ‘iri’ para psikolog Indonesia. Pasalnya, profesi sebagai Psikolog belum mendapat pengakuan & penghargaan dari pemerintah maupun elemen masyarakat Indonesia pada umunya. Padahal, di negara-negara Barat, Psikolog atau Psikoterapis bisa dikatakan setara dengan Dokter atau Lawyer. Alhamdulillah, di bawah pimpinan Dra. Retno Suhapti, SU, MA yang tak lain adalah Ketua HIMPSI Indonesia, akhirnya Psikolog mendapat pengakuan sebagai profesi, sehingga mendapatkan jabatan fungsional. Nah, kalau yang ini aku belum terlalu paham, coba nanti dicari dulu infonya mengenai HIMPSI – yang memiliki sekretariat di Gedung A Lt. 3 Fakultas Psikologi UGM – ini.
R Pendidikan profesi à ini berkaitan dengan jenjang keahlian di atas. Demi mengembangkan ilmu di bidang Psikologi, hendaknya institusi yang menganggap penting akan hal ini bisa memfasilitasi para psikolog atau calon psikolog untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi – dengan kata lain, beasiswa. Semoga aku termasuk calon psikolog yang mendapat kesempatan menimba ilmu yang lebih tinggi. Ga usah jauh-jauh deh, UCLA atau Stanford Uni atau Leipzig Uni juga gpp. Heheh... Mohon doanya, kawans...
R Kerjasama lintas profesi klinik & non-klinik à nyank ini juga pentink... ga ada ilmu di dunia ini yang berdiri sendiri. Kolaborasi antardisiplin ilmu masih menjadi pilihan terbaik dalam memperkaya khasanah ilmu apa pun. Tak terkecuali dengan psikologi. Aku jadi teringat pertanyaan sepupuku Agustus lalu: “Mba Tyas, bedanya Psikolog sama Psikiater itu apa toh?” Pertanyaan klise. Pada dasarnya, keduanya sama-sama bekerja di bidang ilmu jiwa (Psyche: jiwa). Tapi perbedaan di antara keduanya amat mencolok: psikolog merupakan lulusan Fakultas Psikologi yang melanjutkan Magister Profesi, sedangkan psikiater merupakan lulusan Fakultas Kedokteran Umum yang melanjutkan sampai Spesialis Kejiwaan. Perbedaan lain, psikiater berwenang memberi obat kepada pasiennya, sedangkan psikolog tidak, hanya intervensi yang bersifat terapi dan konsultasi yang dapat diberikan. Kalau aku salah, mohon dikoreksi yah... Nah, kalo psikolog plus psikiater berkolaborasi, itu baru siippp...
Q Memperluas wawasan tentang berbagai aspek keahlian Psikolog Klinis:
S Dasar-dasar filosofis
S Kesehatan mental dan situasi kegawatdaruratan
S Public mental health
S Epidemiologi kesehatan mental
S Prinsip Evidence-based of Effectiveness

Mmm... poin kedua dari tujuan mata kuliah ini belum bisa kujelaskan, karena sifatnya sangat spesifik, sedangkan kuliah saja belum mulai. Dua pekan ini Pak Rahmat harus ke Melbourne, so kami ga ada kuliah de... Sedih juga sih, harus sabar menunggu Pak Rahmat balik ke UGM. Uda pengen cepet2 dapet ilmunya... cie...
Oh iya, beberapa kontrak belajar yang kami sepakati:
T Tidak ada ujian tertulis. Asyik niy...
T Setiap pertemuan, kami diwajibkan melaporkan riset kecil tentang suatu topik yang diberikan oleh Pak Rahmat pada pertemuan sebelumnya. Ini yang kusuka. Beberapa dosen Psikologi Klinis yang pernah kuikuti kuliahnya memang menekankan pada aktivitas riset, baik itu review jurnal penelitian maupun melakukan riset secara langsung.
T Penilaian terhadap kontribusi (kuantitas & kualitas) selama pertemuan (60%)
T Penulisan paper (20% & 20%) à sebagai pengganti UTS, kami diwajibkan membuat paper mengenai poin pertama tujuan mata kuliah ini (Memperluas wawasan tentang profesi Psikolog Klinis); sedangkan untuk mengganti UAS, kami harus membuat paper tentang poin kedua (Memperluas wawasan tentang berbagai aspek keahlian Psikolog Klinis). Judul bebas, asalkan menyangkut tema tersebut.

Well, dalam rangka menuju masa depan yang lebih cerah, izinkan aku berkontribusi sesuai kompetensiku, Ya Rabb...

- t y -
Yk, 9 September 2008
22.11 pm

Picture taken from: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiD9gbUL31cEGeQaP-28Oy9aNcBJ8X9hiAf2RG_wgPhlLNUCtHSqhkmsf-8hx4VncxPuWOcAbujowmHJCy4i5ORF5rBMCYYFNOFaGsEwVj9Wc1aLwJIRRr9deEVXLeDJSj-RkkOg1Q0QufM/s1600-r/header.jpg

Putra-putri Anda mengalami kesulitan dalam belajar?


Beneran, setelah mengalami kekecewaan berat karena sindrom ‘high expectation’ terhadap Linbud yang menyerang diriku hari Senin kemarin, akhirnya di hari Selasa ini ada yang seger-seger.
Yup! Psikologi Kesukaran Belajar menjadi sesuatu yang menggugah semangatku kembali kuliah semester ini. Dosen yang kompeten di bidang Psikologi Pendidikan menjadi daya tarik tersendiri mengapa mata kuliah ini terasa menggairahkan. Di samping itu – dan yang paling penting – materi yang diajarkan pada mata kuliah ini so realistic dan sangat dekat dengan kehidupanku sebagai seorang penuntut ilmu.
Mata kuliah Psikologi Kesukaran Belajar ini membahas tentang macam-macam kesukaran belajar yang dialami oleh anak-anak. Beberapa di antaranya yaitu gangguan komunikasi, gangguan fisik, disleksia, ketidakmampuan berhitung, gangguan visual, gangguan auditori, gangguan emosi, gangguan mental (ex: Retardasi Mental), dan slow learner. Ternyata banyak hal yang membuat seorang anak mengalami hambatan dalam belajar. Diperlukan deteksi dini oleh orang tua yang menemukan keganjilan pada anak yang sukar memusatkan konsentrasi pada saat belajar, kesulitan membaca, menulis dan berhitung, atau sangat lambat dalam mengerti suatu materi pelajaran. Akan lebih baik apabila upaya penanganan dilakukan sedini mungkin, karena anak yang mengalami Mental Retarded pun masih bisa ditingkatkan kemampuan belajarnya.
Penelitian Depdikbud pada awal tahun 1990-an (maaf, tahun tepatnya lupa), di daerah Jawa Barat saja diperoleh hasil prosentase anak usia sekolah yang mengalami kesukaran dalam belajar: gangguan komunikasi 65,2 %; gangguan berhitung 57,5 %; gangguan membaca 51,2 %; anak-anak berbakat 45,8 %; gangguan menulis 31,7 %, gangguan kesehatan gizi 13,4 %; gangguan visual 4,4 %; gangguan auditori 1 %; gangguan fisik/gerak 4 %; slow learner 25 %; gangguan emosi dan perilaku 21,8 %; serta anak-anak dengan nilai prestasi rerata kurang dari 6 sebanyak 13,9 %. Angka yang sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Belum diketahui penilitian terbaru mengenai hal ini. Bisa saja prosentase yang tertera di atas kian meningkat apabila tidak ada tindak lanjut dari pemerintah untuk menguranginya.
Ingin rasanya kuceritakan tentang macam-macam kesukaran belajar ini satu per satu, tapi aku sendiri pun belum memahami semuanya. Nanti, setiap pekan akan ada satu kelompok yang mempresentasikan macam kesukaran belajar. Dari hasil presentasi itu, aku akan berusaha men-sharing-kannya di sini. Aku sendiri bersama dua orang temanku kebagian mempresentasikan kesukaran belajar yang disebabkan oleh gangguan auditori – gangguan kesukaran belajar yang prosentasenya kecil.

- t y -
Yk, 4 September 2008
22.53 pm

Picture taken from: http://3.bp.blogspot.com/_xcD4JK_dIjU/Sk8qBCglaDI/AAAAAAAADDY/FSs9c7t0FwI/s320/learning-difficulties-podcast.jpg

Lintas Budaya yang mengecewakan



Hari Senin (01/08) menjadi hari yang tidak begitu menyenangkan bagiku. Hari itu merupakan hari pertama kuliah Semester VII setelah dua bulan lamanya mengarungi samudra KKN yang penuh derita (Halah... sok puitis... malah aneh ya?). Hari pertama kuliah, bukannya semangat, malahan loyo. Satu-satunya kuliah yang harus kuikuti hari ini adalah Psikologi Lintas Budaya (Linbud) – satu-satunya mata kuliah yang direkomendasikan oleh kakak pemandu ospek ketika membaca essayku, sekaligus satu-satunya mata kuliah yang kuminati, tetapi selalu ga ada kesempatan untuk mengambilnya. Alasannya simple, karena peminat yang banyak, kelas Linbud ini selalu penuh, sehingga kuota ga mungkin ditambah lagi. Uda pernah kuceritain juga, aku sering kehabisan kelas karena sikapku yang tidak militan dalam mengantri nomor giliran KRS on line. Sebel...

Dengan tingkat antusiasme yang cukup tinggi, aku berangkat kuliah jam 13.30 – jam kuliah yang sangat tidak dianjurkan bagi mahasiswa mana pun karena jam segitu otak uda ga se-fresh pagi hari. Begitu masuk ruang K-202, atmosfir ketidaknyamanan mulai muncul. Ternyata saudara-saudara... kelas A dan B untuk mata kuliah Linbud digabung dan diajar oleh dosen yang tidak kuharapkan. Tadinya aku daftar ni kuliah sama dosen yang kusuka. Eh, malah yang ngajar dosen yang sangat sedikit peminatnya. Uda mata kuliah sudah aku diajar oleh dosen ini dengan hasil yang mengecewakan. Nilai yang kudapet sih oke, tapi aku ngerasa ga dapet ilmunya. Rugi.
Demi menghindari kekecewaan yang ketiga kalinya bersama dosen ini, maka aku, Dini, dan Sasa sepakat untuk meng-cancel mata kuliah Psikologi Lintas Budaya dari KRS kami. Sedih juga sih, karena uda sejak lama aku mengidamkan untuk mendapat banyak ilmu dari mata kuliah ini. Tapi karena ketidaknyamanan yang kurasakan dalam kelas ini, aku rela melepaskan Linbud dari genggamanku. Mungkin next semester aku akan ngambil mata kuliah ini, apa pun yang terjadi.

- t y -
Yk, 4 September 2008
22.20 pm

Picture taken from: http://ecx.images-amazon.com/images/I/517B9X9RCML._SL500_BO2,204,203,200_AA219_PIsitb-sticker-dp-arrow,TopRight,-24,-23_SH20_OU01_.jpg

Fenomena Sunday Morning


Haluuuuu... pagi yang cerah bukan? Hari Ahad ini aku bangun dengan semangat baru! Semangat karena ga perlu mikirin KKN lagi... Semangat karena ketemu lagi ma anak-anak WA... Semangat karena besok mulai ngampus... Semangat karena besok uda masuk bulan Ramadlan... Semangat karena pagi ini uda janjian ma mba Antin ke SunMor alias Sunday Morning setelah 5 bulanan ga pernah hangout di SunMor.

Ehm... SunMor ini merupakan pasar kaget yang hanya ada pada hari Ahad pagi sekitar jam 6-11 di kawasan UGM. Jaman dulu (awal tahun 2000-an) – kata mba Antin – SunMor Cuma ada di sekitaran GSP (Ghra Sabha Pramana) maksimal sampe belakang D3 Ekonomi & Maskam (Masjid Kampus). Tapi seiring berjalannya waktu, SunMor ini melebar sampe ke ruas jalan depan D3 Ekonomi & Maskam (sekarang bernama Jl Prof. Notonagoro), Lembah Fitness UGM, mpe depan Filsafat & Hukum.

Sebelum jadi mahasiswa Psikologi UGM (deu... bangganya...), aku pernah menjumpai pasar kaget yang sama kaya SunMor ini, tapi tempatnya di IPB (Bogor). Waktu itu mba Wulan wisuda (taon 2003 ya? Lupa...). kami sekeluarga datang ke Bogor. Kalo ga salah, hari Ahad juga pasar kagetnya. Di sana aku beli jilbab warna item 2 buah. Waktu itu aku baru berjilbab (kelas II SMA), so setiap shopping aku budgetkan untuk beli jilbab. Ga pake uangku siy,,, masih nebeng Bapak-Ibu. Heheh...

SunMor merupakan tempat belanja favorit para mahasiswa yang males belanja jauh-jauh ke Mall atau jalan Malioboro, apalagi Pasar Beringharjo. Selain barang-barang yang dijual cukup lengkap & variatif, harga yang dipatok para pedagang di sini juga tergolong murah. Bagiku pribadi, ga ada alasan untuk ga belanja di SunMor kecuali lagi ga butuh belanja & lagi bokek (lha, itu namanya alasan yak!). Selama 3 tahun aku menetap di UN (United Ngayogyakarta) ini, uda ga terhitung berapa kali aku mengunjungi SunMor ini. Paling sering sih ke SunMor bareng temen-temen WA coz SunMor yang di jalan Prof Notonagoro emang ga jauh dari WA, ga sampe 10 menit jalan kaki uda sampe. Pernah juga ke SunMor ma Bapak-Ibu-Mba Dhani-Mba Wulan waktu mereka lagi ke Jogja. Seneng deh...

Karena jalannya naik dan uda mulai panas, so lumayan juga jalan kaki bolak-balik WA-SunMor-WA. Tapi ga rugi juga, coz setiap kali ke SunMor, pasti ada aja barang yang dibeli. Jarang banget aku ke SunMor ga beli apa-apa, minimal beli tempura ma susu murni Nasional. Hihi... Niy, list barang yang kubawa pulang dari SunMor...

Picture taken from: http://media.photobucket.com/image/pasar%20kaget/alisiagian/Dari%20Ujung%20Kulon%202007/Pasar%20Kaget%20Minggu%20di%20UGM%20Jogja%20%20akhir%202007/PasarKagetUGM14.jpg

Update research !!!


KKN memang membawa banyak cerita dan insprirasi. Salah satunya adalah ide-ide tentang penelitian yang bisa dilakukan ketika KKN. Beberapa di antaranya adalah...

- Resiko terjadinya konflik interpersonal antaranggota subunit
- Hubungan antara jumlah motor dan cinta lokasi
- Menguji kesetiaan pasangan
- Hubungan antara stress pengerjaan laporan dengan intensitas menyanyi di kamar mandi
- Hubungan antara jam pulang dan intensitas mandi sore
- Hubungan antara latar belakang disiplin ilmu dan cara kerja
- Hubungan antara intensitas pengerjaan laporan dan ketepatan waktu sholat
- Hubungan antara ketepatan waktu dengan kerentanan konflik interpersonal

Picture taken from: http://www2.warwick.ac.uk/fac/soc/wie/teaching/frm2/research.jpg

WA, here I come...


Alhamdulillah, kemaren sore, tepatnya jam 16.45 WIB, kami- Tim KKN- PPM UGM Unit 88 check out dari pondokan alias ditarik dari lokasi. Setelah 1 pekan sosialisasi & pemantapan program, 6 pekan pelaksanaan program, dan 1 pekan terakhir pengerjaan laporan, akhirnya kami kembali ke kehidupan normal kami.

Emang selama KKN, kehidupan kami ga normal ya? Yup! Meskipun sama-sama beraktivitas seperti hari biasanya, tapi beda dengan KKN, it’s lots of pressure. Gimana ga, setiap hari kami harus menjalankan program yang sudah tercantum dalam tema judul plus program non tema yang kami janjikan di LRK (Laporan Rencana Kegiatan). Semua program itu harus memenuhi alokasi waktu minimal 288 jam. Stress banged... belum lagi adaptasi dengan teman-teman yang baru kukenal pas KKN ini. Harus memahami kebiasaan mereka yang sangat berbeda dengan kebiasaanku, berusaha ga membuat mereka tersinggung dengan perkataan dan cara bercandaku, memahami hal-hal apa yang membuat mereka senang, menjaga keharmonisan kerja satu tim, menghilangkan obrolan yang berbau SARA, menyamakan ritme kerja, duh... pokoknya banyak deh yang harus dijaga bareng-bareng teman 1 kamar, 1 pondokan, 1 subunit, apalagi 1 unit...
Bagi para pembaca yang uda pernah KKN, pasti bisa memahami perasaanku. Bagi yang belum pernah KKN, siap-siap ajah... hehehe...

Nah... ini nih the hardest part of KKN: pembuatan laporan!!! Untuk masing-masing anggota (yang ga menjabat kormanit, kormasit, dan kormabid), wajib mengumpulkan 5 laporan berupa: K1, K2, K3, R1 (rekapan K1), dan LPK (Laporan Pelaksanaan Kegiatan). Ga usah dijelasin yah, bakalan ribet. Terus, di samping mengumpulkan 5 laporan tersebut, Kormasit harus merekap R1 menjadi R2 ditambah dengan LPK subunit (gabungan LPK 6 anggota subunit). Kormabid, selain mengumpulkan 5 laporan tersebut, harus membuat Kartu Pelangi yang isinya rekapan program bidangnya masing-masing. Disebut Kartu Pelangi karena emang warna masing-masing bidang berbeda: Sience-Tech warna biru, Agro warna hijau, Kedokteran & Kesehatan warna kuning, dan Sosial Humaniora warna pink. Kormanit, sebagai finishing touch laporan, harus membuat R3 (rekapan R2 yang dibuat oleh Kormasit).

Bener-bener, waktu 1 pekan pembuatan laporan terasa sangat sempit. Hampir 15 jam setiap hari dalam 7 hari kami berkutat dengan laporan2 itu... sampai2 sasa – teman sekamarku yang menjabat sebagai Kormasit Kweni – berteriak, “Bisa ga sih, dalam waktu 24 jam ke depan kalian ga ngomongin tentang laporan?!” hi... segitunya, sa...

Aku sendiri, baru menyelesaikan kelima laporanku pada hari keenam... hari ketujuhnya aku siapkan untuk mengerjakan Kartu Pelangi (KP) Bidang Sosial Humaniora. Kartu berwarna pink yang sudah lusuh itu menjadi saksi kekalutanku menyelesaikan KP. Hari Kamis (28/08) jam 11 siang aku baru menerima R2 dari kelima kormasit. Itu pun pake acara salah nge-save segala, so harus nge-save ulang. Jam 11.30 baru kumulai pembuatan KP. Uda hampir 2 subunit kurekap, ga kusangka listrik mati – tepatnya jegleg alias ga kuat ngangkat beban listrik yang terlalu gede (pasti ada yang nyalain alat elektronik yang voltase-nya gede). Mana Notty (laptopku: Acer Aspire 4720z) lagi ga pake batre, ya langsung mati juga... pas kubuka lagi file bernama ‘rbsb’, beberapa angka sudah tertulis di sana, karena memang aku terbiasa untuk sering-sering nge-save. Bisa aja kulanjutkan langsung penghitungan program Soshum yang tadi terputus. Masalahnya, ini hitung-hitungan, cing... aku ga tau sampe mana program yang uda kuhitung tadi. Hitungan di KP Soshum ini ga sekedar puluhan or ratusan, ni sampe ribuan, bahkan puluhribuan... gile aje...

Syarip – sang Kormanit – menentukan deadline pengumpulan KP ba’da ashar. Aku nyerah. Aku minta izin ma Syarip untuk telat ngumpulin laporan. Dia ga ngebolehin, tapi ga ngelarang juga. No comment! Huh, sebel... yasud, the show must go on. Jam 13.30 kumulai lagi berduaan dengan KP-ku. Ada aja penghambat pembuatan KP ini. Ardi – Kormasit-ku – bersikeras semua anggota sub unit Krapyak Wetan harus ikut pamitan ke rumah Pak Dukuh. Padahal aku berharap bisa di-excuse untuk ga ikut dengan alasan nggarap KP, tapi ga boleh. Apa boleh buat, 15.00-16.45 kami menghabiskan waktu di rumah Pak Dukuh dan SD Krapyak Wetan.

Pulangnya, aku ga langsung ngelanjutin KP, tapi aku berusaha menenangkan diri dulu dan mengumpulkan energi untuk menyelesaikan KP. Ba’da maghrib baru kulanjutkan KP itu. Dengan sepenuh hati, kucermati angka2 yang tertera di R2 kelima sub unit. Konsentrasi penuh kucurahkan ke depan Notty, tanpa winamp, tanpa selingan game Twins, Bounce Out atau Burger Rush. Sekilas info, baru kali ini aku kerja di depan Notty tanpa iringan my fave songs. Ternyata bisa selesai juga... Target menyelesaikan KP Soshum jam 21.00 molor 1 jam jadi jam 22.00. fiuh... finally... dengan perasaan puas tak terkira diiringi ucapan syukur alhamdulillah, file berbentuk dbf yang dibuka pake Ms. Excel itu ku-save as ‘rbsb_SoshUm okAy’. Sekedar gambaran, KP pada kolom jumlah, tertera angka 153 untuk jumlah program, 4105 untuk jumlah waktu (dalam satuan jam), dan 70620 untuk total biaya (dalam ribu rupiah).

Hari Jumat (29/08), finishing laporan unit. 30 orang Densus 88 super sibuk. Ngeprint LPK, pamitan ke SD masing2 (tar ada episode perpisahan), ngedit dokumentasi, pengumpulan surat izin & kartu identitas KKN, melengkapi presensi, packing, dan kesibukan lain dalam rangka mempersiapkan diri ke kehidupan normal. Sssttt... asal tau aja ya, beberapa temen ada yang ga mandi seharian... hehe... tapi aku ga termasuk lowh... alasan mereka hanya satu: gek ndang rampung, njut mulih...

Setelah pamitan sama Pak Dukuh, Bu Dukuh, anak Pak Dukuh beserta suami dan sang buah hati – Alya – kami cabut menuju Jogja. Eh, sebelum bener-bener cabut, kami mampir pondokan cowok, pamitan sama Pak Joko – sang pemilik rumah sekaligus Babe-nya Novi, teman psiko ’05.
Jalan Bantul kami susuri sampai akhirnya tiba di MIPA. Angkut barang-barang mpe Maghrib, and finally, I’m home...Yeah, I’m here now, in WA. My lovely room. Meskipun keadaan kamarku belum cozy untuk ditinggali setelah ga berpenghuni selama +- 2 bulan, but it feels like home to me (kata Sarah McLachlan). Malam pertama bubu di atas kasur & bantal normal terasa amat nikmat setelah dua bulan tidur di atas kasur, bantal, dan teman-teman sekamar yang ga normal. Hahaha... b’canda Pit, Din, Sa... Loph u all...

Next episodes: all about KKN bakal kuceritain. Kalo ga bisa smua, minim puzzle2 peristiwa selama KKN yang berkesan untukku, bakal ku-share ma teman2 smuwa... see u then!

Whoaaaahhh........



Uda jam 23.33. nguantuk niy... tapi demi sharing ke teman2, Ty bela2in nulis...

Hari Ahad ini ga tralu bergairah. Knapa ya? Mungkin karena hari Sabtu kemaren da agenda yang ga terlaksana. Hari sabtu kemaren, pas mau bangun sholat shubuh, kaki Ty kram. Gemeteran. Ga ngerti kenapa, mungkin sisa gemeteran setelah ketemu pak Polisi hari Jumatnya. Hehehe.. Pas mau wudlu aja, bolak-balik duduk, ga kuat berdiri lama. Akhirnya pagi itu yang harusnya jadwal Ty ngajar, batal. Seharusnya Ty ma Indri ngajar, tapi karena cedera kaki yang Ty alami, akhirnya Ty sms Freddy & Yelly untuk gantiin Ty ngajar. Yang duluan bangun Yelly, so dia yang bersedia nggantiin Ty ngajar. Maafkan Ty, teman-teman...

Satu pondokan KKN cewek uda pada punya acara ndiri2. Sashya ma Titah ikutan lomba di subunit Kweni. Pipit mbalik Kalasan. Ria, Hino, Tyas lagi pd di Jogja. Anti ma Dini ikutan lomba di subunit Sawit. Desi juga uda punya acara ndiri. Selvi, Tuti ma Anti rencana mau ke Rumah Cantik Citra, eh, malah jadinya nonton A-Mild Soundrenaline di Prambanan setelah Anti pulang dari Sawit. Cem-macem, tak iye?

Ty belom ada rencana pergi ke mana2, kecuali Dawis (Dasa Wisma) PKK RT 10 Krapyak Wetan. Ty uda bilang ma Bu RT-nya mau ngisi PKK tentang Child Sexual Abuse (CSA). Sebenernya materi uda ada sejak kapan tau, tapi belum dibikin leaflet-nya. Baru setelah jam 11, pembuatan leaflet dimulai. Itu pun Cuma comot materi dari sana-sini, trus digabungin. Dengan diselingi bobo siang dan sholat Dzuhur, akhirnya leaflet jadi dan siap di-print jam 3. Biasanya, urusan print-mengeprint kami percayakan pada printer Hino, tapi karena Ty ga nemu kunci kamarnya, jadi Ty harus ngeprint di luar. Setelah sholat Ashar, Ty langsung hunting rental komputer di sekitar jalan Bantul. Ga nemu. Eh, malah ketemu Yelly ma Mas Fals. Tanya mereka, ga ada yang tau juga rental komputer, malah Ty disuruh ikut lomba di Kweni. Waktu itu uda jam 3.45. Waduh, acara PKK jam 4, cing! Masa mahasiswa KKN telat...

Di daerah Krapyak Wetan pun Ty ga nemu rental komputer, yang ada malah warnet. Yo wis, walaupun agak mahal, nyank penting ni materi bisa di-print.

Biz ngeprint, Ty ke rumah Bu RT. Kata anaknya, Bu RT lagi di tempat Pak Dukuh. Ty ke tempat Pak Dukuh. Astaghfirullah... Ty lupa kalo tanggal 10 ini da lomba ibu-ibu PKK se-pedukuhan Krapyak Wetan. Tuh kan... satu event terlewatkan. Ty ketemu Bu Dukuh ma Bu RT. Indri ma Dini nyusul, trus pergi fotokopi materi CSA sejumlah ibu-ibu Dawis RT 10.

Jam 4.30 Ty ma Bu Dukuh ke tempat Dawis (Bu siapa ya? Lupa ga nanya...). Dawis dimulai jam 4.45. Sebelum acara dibuka, ibu-ibunya uda pada setor arisan, tabungan, simpan pinjam, dll, Ty ga tralu ngerti tentang gituan. Menjelang jam 5 tepat, Bu Umanah yang jadi MC mempersilahkan Ty untuk berbicara. Yah... dengan pengetahuan pas-pasan, kemampuan public speaking seadanya, dan suara yang ga tralu merdu, Ty memberanikan diri untuk memberi penjelasan tentang CSA. Ty Cuma diberi waktu 15 menit untuk bicara. Alhamdulillah, selesai juga. Ternyata 15 menit itu cepet, ga trasa. Semoga semua yang hadir di PKK itu bisa memahami apa yang Ty sampaikan. Semoga bermanfaat...

Kami cabut dari Dawis jam 5.45. karena yakin pondokan bakal sepi, akhirnya Dini ma Ty memutuskan untuk pergi ke Jogja Expo Center (JEC). Tanggal 10 ini hari terakhir Book Fair terbesar di JEC. Rugi kalo ga dateng. Perkiraan waktu tempuh sampai JEC 15-20 menit dari lokasi Ty saat itu. Daripada kepentok Maghrib, akhirnya kami sholat Maghrib dulu di Masjid Jogokaryan. Ini kedua kalinya Ty sholat di Jogokaryan. Dulu, Ty sempet penasaran banget di mana letak masjid ini. Alhamdulillah, Alloh menjawab rasa penasaran Ty dengan mengatur lokasi KKN Ty yang ga jauh dari Masjid Jogokaryan, so Ty bisa sering2 ke masjid ini.

Cabut dari masjid jam 6.15. ngisi bensin Rp 17.600, trus meluncur ke JEC. Setelah keluar dari jalan Parangtritis menyusuri Ring Road Selatan, melewati 6 perempatan, dan pake acara kebablasan sampe jalan layang yang mau ke arah Janti, akhirnya Ty ma Dini ampe juga di JEC.

Seneng... rame... banyak buku-buku... (ya iya lah, namanya juga Book Fair...) Ty emang uda berazzam harus beli 1 buku (karena kalo beli 2 buku, duitnya ga cukup. Hehehe...) setelah mendatangi hampir semua stand penerbit, Ty bingung mau beli buku apa,,, ada 3-4 kandidat buku yang pengen Ty beli. Tapi ga mungkin, budget Cuma cukup untuk 1 buku. So, akhirnya pilihan jatuh ke sebuah buku terbitan Pro-U Media karya Fadlan Al-Ikhwani yang berjudul Don’t Cry Ketika Tertolak Cintamu (ups! No comment!) Kayaknya buku ini kurang dibutuhkan oleh Ty, tapi Ty penasaran, pengen baca. Gpp lah yaw, kan ilmu bisa diperoleh dari mana pun.

- t y -
Sewon, 11 Agustus 2008
00.34 a.m.

http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.freefoto.com/images/31/31/31_31_62---Book-Fair--South-Bank--London--England_web.jpg&imgrefurl=http://www.freefoto.com/preview/31-31-62%3Fffid%3D31-31-62&usg=__qRKPT7jmepRfHMbzKavr68efW_g=&h=600&w=400&sz=120&hl=id&start=7&itbs=1&tbnid=CJIOlKuAhQcpgM:&tbnh=135&tbnw=90&prev=/images%3Fq%3Dbookfair%26gbv%3D2%26hl%3Did

Pengen ke Korea !!!



Hari itu (18/08/08), sengaja saya luangkan waktu untuk hunting buku antologi cerpen Korea Laut dan Kupu-Kupu terjemahan Koh Young Hun dan Tommy Christomy. Penasaran dengan isi buku yang dijadikan acuan lomba menulis essay yang diselenggarakan oleh FIB UI, saya rela meninggalkan segala kegiatan yang berhubungan dengan KKN-PPM UGM yang sedang saya jalani. Setelah membaca pengumuman lomba menulis di Annida, saya sangat antusias untuk mengikutinya, bahkan berambisi menjadi pemenang 1, 2, atau 3, sehingga saya bisa berangkat ke Korea. Sekedar informasi, saya memang sangat menginginkan untuk pergi ke luar negeri. Ke negara mana pun, yang penting luar negeri. Saya yakin saya bisa mewujudkan impian saya.

Jam 2 siang, saya mulai keliling toko buku demi mendapatkan Laut dan Kupu-kupu. Toko buku yang menjadi target pertama saya gagal datang saya masuki karena tutup. Saya lupa kalau tanggal 18 Agustus merupakan libur nasional, jadi beberapa toko tidak melayani pelanggan. Padahal toko buku itu merupakan toko buku yang terkenal murah di Yogyakarta karena selalu memberikan diskon untuk buku-buku yang dijualnya hingga 25 %. Harapan kedua saya tumpukan pada toko buku langganan saya yang letaknya tidak jauh dari tempat kos saya, tepatnya di daerah Sagan, Yogyakarta. Rak demi rak, judul demi judul saya amati. Beberapa waktu lamanya sampai terdengar kumandang adzan Ashar, saya tidak kunjung menemukan Laut dan Kupu-kupu. Bertanya pada penjaga toko pun tidak mempertemukan saya dengan buku itu. Saya memutuskan untuk pulang ke kos.

Setelah berbincang dengan teman-teman kos dan dan sholat Ashar, saya seperti menemukan energi baru untuk lebih bersemangat mencari Laut dan Kupu-kupu. Satu-satunya harapan terakhir yang bisa saya ikhtiarkan yaitu mencari buku yang bisa membawa saya ke Korea di pusatnya, yaitu Gramedia. Sempat terpikir untuk pergi ke Gramedia sejak awal pencarian, tetapi saya urungkan niat itu. Saya pikir, buku terbitan Gramedia bisa saya dapatkan di toko buku mana pun. Ternyata tidak semuanya demikian.

Sedikit bingung ketika saya memasuki Gramedia, karena tata letak yang berubah sejak terakhir saya datang ke Gramedia beberapa waktu lalu. Belum sempat semua rak buku dan judul buku saya cermati, saya langsung memutuskan untuk menanyakan letak Laut dan Kupu-kupu kepada operator katalog komputer. Dengan mudah sang operator menemukan dan menunjukkan lokasi Laut dan Kupu-kupu yang saya cari. Namun, perlu perjuangan berarti bagi saya untuk menemukannya karena letak Laut dan Kupu-kupu yang tersembunyi dan terpojok di antara buku-buku terjemahan lainnya. Dengan tekad kuat pergi ke Korea dan izin dari ibu yang kala itu menelepon saya langsung dari Tegal, akhirnya saya pulang ke kos dengan penuh kemenangan dan Laut dan Kupu-kupu di tangan. Malam harinya, dengan penuh penghayatan, saya memulai membolak-balik buku idaman saya itu.

http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://tslandwb.files.wordpress.com/2009/02/korea-entertainment-016.jpg&imgrefurl=http://tslandwb.wordpress.com/kebudayaan-korea/&usg=__nH5MkNawPf5xxNvm2sVV0pg7dFg=&h=391&w=400&sz=37&hl=id&start=2&itbs=1&tbnid=XfgCuC1NhPz38M:&tbnh=121&tbnw=124&prev=/images%3Fq%3Dkorea%26gbv%3D2%26hl%3Did

Tilang Edition


Hari ini (Jumat 08/08/08) Ty ma Indri nyampe duluan di SD (SDN Krapyak Wetan, disingkat bae lah...). tumben bisa ngeduluin anak2 cowok. Maklum aja, sore kemaren Ardi ma Yelly, bareng temen2 cowok Densus 88 yang lain biz maen futsal lawan pemuda Krapyak Kulon. Uda penuh pengorbanan, sampe2 Ardi cidera, Yelly juga kena tackle pas awal pertandingan, eh ga menang... kalah 2-0 (Ty diceritain c, ga nonton langsung). Pasti mereka cuape deh...
Agenda utama di SD masih teuteup pelatihan Ms. Office untuk guru-guru. Hari ini giliran Bu Sri ma Bu Marmiyah. Tentornya (cie...) Yohan ma Ty. Yohan nge-handle Bu Sri, kalo Ty megang Bu Mar. Seperti biasa, pelatihan dilaksanakan di ruang PKG. Oia, pas mau mulai pelatihan jam 7.30 tadi, Bu Sri belom dateng, so untuk sementara Yohan ngelatih Bu Nita, petugas perpus yang request minta diajarin bikin table di Ms. Word. Dengan bermodal laptop Ardi & Freddy, kami mulai ngelatih. Subhanallah, walaupun usia bu guru ini jauh di atas Ty, tapi beliau masih mau belajar dan mengikuti pelatihan dengan baik. Sip! ada kemajuan daripada pekan kemaren. Seneng de...

Pelatihan selesai sekitar jam 8.30. biz itu kami melakukan finishing touch, yaitu masang papan nama guru yang uda kami kerjakan selama kurang lebih 2 pekan ini. Yohan & Freddy yang masang di dinding kantor guru, secara ini programnya anak Science-Tech. Ty ga mungkin naik2 meja lah... tar heboh ;p Ty Cuma jadi ‘gadis paku’, ngambil sebungkus paku di ruang komputer, trus megang bungkusan paku itu sampe papan nama guru terpasang rapi. Sebenarnya, yang masang bukan Cuma Yohan ma Freddy aja, tapi temen lain juga bantuin, sama Pak Gurunya juga.

Biz masang papan nama guru, kami diskusi tentang kerjaan selanjutnya. Masih berkutat dengan papan, tapi ini jumlahnya lebih banyak: 3 biji, bo! Dengan pertimbangan waktu, tenaga, dan mood, akhirnya kami spakat membawa papan itu ke pondokan. Pondokan cowok, tentunya... cz Ty ma Indri ga berkewajiban untuk mengerjakannya (hehehe...).

Jam 10 kami cabut dari SD. Ty langsung cabut ke Jogja (meskipun Bantul masih termasuk wilayah DIY, tapi jarak lokasi KKN ke kota Jogja lumayan jauh, 20 menitan). Berhubung Rhea (nama motor Ty: Honda Astrea Grand ’97 G 5403 WF) belum diservis & bensinnya empty, so Ty minjem motor Indri untuk Ty pake ke Jogja. Tujuan Ty ke Jogja itu mau balikin sepatu sendalnya Romi, temen WA (nama kos Ty: Wisma Ana) yang Ty pake di nikahan Bagus tanggal 2 Agst kemaren. Trus Ty emg da agenda pekanan yang wajib Ty datangi. Acaranya jam 11. mumpung masih jam 10, Ty mau nyoba rute jalan lain yang ga biasa Ty lewati sebelumnya. Karna keasyikan bawa motor Supra-X Indri, tau-tau Ty uda nyampe Kotagede (kawasan penghasil kerajinan perak). Sampe jalan Tegal Gendu. Parahnya, Ty buta arah. Ga ngerti mana Selatan, Utara, Barat ma Timur. Muter-muter aja tuh Ty selama hampir sejam... belagu sih... terus, ga tau gimana ceritanya, akhirnya Ty sadar uda hampir nyampe terminal Giwangan. Brati dari tadi Ty Cuma ngubek-ngubek daerah selatan doang... ya e lah...

Di tengah jalan sebelum terminal Giwangan, temen Ty sms minta dijemput di kampusnya. Waduh, mana uda jam 11 lagi... padahal jarak terminal Giwangan ke WA hampir 30 menit lho... akhirnya Ty bertekad untuk ngebut, biar waktu tempuh lebih pendek. Pas nyampe simpang lima Giwangan, Ty lupa kalo lampu merah ga boleh langsung belok kiri, harus nunggu lampu ijo. Namanya juga buru-buru, uda ga mikir lagi, ga baca rambu-rambu juga... jadi deh nerobos lampu merah. Yang bikin sport jantung, dari arah pintu keluar terminal ada bis kota mau keluar. Bbbeugh... hampir aja muka bis itu nempel di badan Ty... alhamdulillah, karena Ty lumayan ngebut, ga jadi ketabrak deh...

Setelah selamat dari hantaman bis, samar-samar kedengaran suara sempritan peluit, tapi Ty cuekin. Ty mencoba untuk calm down, menenangkan diri, dengan posisi masih tetep nyetir. eh, pas uda 2 kiloan jalan di Ring Road Selatan, di spion Ty liat sesosok Polantas bak Thai Long yang mau menerkam Panda Po (= Ty) mendekat ke arah Ty, trus memberi isyarat Ty untuk menepi. Yah... kena tilang deh... waduh, the worst moment of the day niy... ga usah diceritain lengkap yak. Intine, bapake pengen lihat SIM & STNK Ty, Ty uda ngelanggar 2 pasal. Ty harus ke pos polisi untuk nerima surat tilang. Waduh, padahal uda telat banget niy ke acara Ty... Ty beralasan sedang buru-buru, ada acara penting (emang penting qo...), harus jemput temen, uda telat, dll. Akhire bapake mengizinkan Ty ke pos nanti sore, tapi SIM Ty ditahan. Yowis, ati-ati, ngko nak ketilang maning arep nunjukke opo? Mung duwe STNK, iki wae motor silihan...

Di acara yang Ty hadiri, Ty banyak mendapat energi positif. Alhamdulillah, Ty jadi lebih optimis dalam menjalani aktivitas Ty. Ty ma temen cabut dari tempat acara jam 14.45. biz nganter temen, Ty mampir WA untuk sholat Ashar & balikin sepatu sandal ke Romi, ngobrol bentar ma Mba Antin, biz tu cabut. Tapi karena belom makan dari pagi (eh, di SD sempat beli jajanan chicken dhink...), so Ty memutuskan untuk makan sore di warung merah-nya Bu Sugeng. Ty memutuskan untuk makan dulu sebelum ketemu pak Polisi dengan pertimbangan rumus: Logika – Logistik = Log Off. Kalo log off, takutnya tar jadi ga bisa mikir rasional...

Jam 4 Ty menuju pos Polisi Gondowulung (selatan Giwangan) dengan hati cemas. Sampe simpang lima yang tadi Ty lewati, sambil memandangi pos Polisi di seberang jalan, otak ini tak henti berpikir, menyusun skenario yang akan Ty tampilkan nanti ketika berhadapan dengan sang Polantas. Begitu sampe di depan pos, Ty langsung menyapa pak polisi tadi yang memburu Ty di Ring Road. And the negotiation begins... proses negosiasi off the record yak... ga untuk diexpose... B).

Biz puzzle peristiwa itu, sebenernya masih ada kejadian lain, tapi ga usah diceritain aja deh, uda pagi... pipit, dini, ma sashya uda pada bobo. Ty juga mau bobo dulu... besok mulai pelatihan jam 7.30 lagi je... ni uda jam 2.46, Ty belom bobo. Bobo dulu ah... whooooaaaahhhh.... blek! Zzzzzzzzzzzzzzzzz.....................

- t y -
Yk, 9 Agst 2008
2.47 a.m.

(Ssttt........ nyanyi dulu yuk....)
Bukannya aku takut - Juliette

Ku tak peduli
bila ku benar-benar ng’langgar lagi
Ku tak peduli, ku memang begini
Bila ku benar-benar n’robos lagi
Ku tak peduli
apa saja yang ku inginkan aku lewat

Bukannya aku takut akan kehilangan SIM C ku
Tapi aku takut kehilangan mukaku
Mungkin saja saat itu kau mempermalukan aku
Seakan ku bisa membalas tilangmu

Kau takkan berhenti
Mengejar diriku di jalan, pasti
Kau tak peduli
bila saja yang ku inginkan aku lewat

Bukannya aku takut akan kehilangan SIM C ku
Tapi aku takut kehilangan mukaku
Mungkin saja saat itu kau mempermalukan aku
Seakan ku bisa membalas tilangmu

Biarlah – Nidji

Engkau sudah berlari
Mengejar yang k’na sanksi
Mengejar aku, hanya diriku

Kaubunyikan klaksonmu
Kautampakkan sangarmu
Hanya untukku, hanya untukku

Tapi engkau enggak pergi
Tapi engkau enggak berlari
Jadi hentikanlah aku di sini

Biarlah kau tetap menilangku
Meyita SIM C ku
Berikanlah aku surat tilang
Tuk peringatkanku

Malu terus meraja
sakit tetap terasa
dalam hatiku, dalam hatiku

berikanlah senyummu
berikanlah ramahmu
hanya untukku, hanya untukku

Tapi engkau enggak pergi
Tapi engkau enggak berlari
Jadi hentikanlah aku di sini

Biarlah kau tetap menilangku
Meyita SIM C ku
Berikanlah aku surat tilang
Tuk peringatkanku

kau dekat padaku
kau tetap mendekat kepadaku

http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.tempo.co.id/hg/photostock/2005/02/03/s_Tilang50.jpg&imgrefurl=http://www.tempo.co.id/hg/stokfoto/2005/02/03/stf,20050203-09,id.html&usg=__y1cssKe4PgN-GGy17FqBvkzStD4=&h=199&w=300&sz=68&hl=id&start=1&itbs=1&tbnid=AkX2C4YNDmB9IM:&tbnh=77&tbnw=116&prev=/images%3Fq%3Dtilang%26gbv%3D2%26hl%3Did

Ngeblogs Yukkkk...



Hm… lagi di SD Krapyak Wetan niy… pake laptop punya Freddy…

Oia, sekilas info: Ty lagi KKN-PPM di Dusun Krapyak Wetan, Desa Panggungharjo, Kec. Sewon, Kab. Bantul, Yogyakarta. Uda jalan sebulan niy... KKN dimulai tanggal 1 Juli-1 September 2008, tapi seminggu pertama dipake untuk sosialisasi ke masyarakat & pemantapan program, trus seminggu terakhir dipake untuk nyusun laporan yang kayanya bakalan menyita waktu, tenaga dan pikiran. Kira2 tanggal 20-an Agustus ditarik dari lokasi.Ty gabung sama anak Elins (Elektronika & Instrumentasi - MIPA) yang punya ide untuk bikin KKN ini. Secara pencetusnya anak Elins, maka temanya pun ga jauh2 dari bidang mereka. Tema KKN kami: Sistem Pendukung Pembelajaran Sekolah Dasar Berbasis IT. Bener ga ya, nulis judulnya. Abis, kepanjangan sih… jadi, kami memfokuskan kegiatan KKN kami di SD. Ada 5 SD yang kami datangi untuk KKN kami: SDN 3 Jarakan, SDN Sawit, SDN Jarakan, SDN Jageran, SDN Krapyak Wetan. Satu unit KKN terdiri dari 30 orang yang berasal dari berbagai fakultas di UGM. Ni formasinya…

Elins: Syarip, Sabda, Dept, Zaenal, Arman, Yuse, Yohan, Freddy, Desi, Hino, Tyas.
Farmasi: Tuti, Anti Selvi.
Pertanian: Rio, Obiek, Rendra, Titah, Ria, Indri.
Hukum: Toni, Karno, Mas Fals, Aries, Ardi.
Ekonomi: (cuma) Yelly.
Psikologi: Pipit, Dini, Sashya, ma Panda.

Lho, Ty qo ga disebut? Hehe… jadi gini, di unit 88 ini (kami menyebutnya Densus 88, sok militer yak!), ada 2 orang cantik yang bernama Tyas (mmm… beneran cantik ga ya? Hehe…). Temen2 suka bingung kalo manggil nama kami. Apalagi yang dipanggil, lebih bingung kan? Yang dipanggil salah satunya, yang nengok dua2nya. Tadinya c, Ty ngusulin panggilan Tyas A – Tyas B, or Tyas B – Tyas C (kaya Spice Girls aja, ada Mel B – Mel C). tapi tar perbedaannya ga signifikan (halah…). Tar malah bingung ngapalin yang mana Tyas A, yang mana Tyas B. akhirnya, karena Ty loves Panda very much, so Ty merelakan diri untuk dipanggil Panda. Sebenernya c, ada Rio yang lebih ‘layak’ dipanggil Panda, karena kemiripan fisik mereka (hehe… Rio, piss yaw!), tapi Ty meng-claim Panda sebagai hak paten nama panggilan Ty (wekkekek…). Meskipun agak kurang berperikemanusiaan, tapi Ty bangga dipanggil Panda, cz Ty seneng temen2 pada tau kalo Ty suka banget sama panda. Eh, siapa tau pas Ty milad nanti, ada temen yang ngado boneka or pernak-pernik panda (I wish!), bahkan kali aja ada yang mau ngajakin & mbayarin Ty ke China untuk ketemu panda. At least ke San Diego Zoo dah… nyank penting bisa sotret-sotret ma panda… (mau donk!!!).

Nah, yang Ty suka, momen KKN ini pas banget untuk mem-blow-up fenomena panda, cz waktu KKN ini lagi hot-hotnya film kartun Kug Fu Panda. Hayo… uda pada nonton belom??? Rugi kalo ga nonton! Lucu abbis! Sarat hikmah! Penuh kekonyolan! Bawaannya pengen ketawa teyuz! Jaminan mutu dah, pokoknya! Ga bisa dipungkiri, di Densus 88 ini, panda jadi makin booming. Maaf ya, untuk para binatang lain di muka bumi, kali ini panda yang sedang jadi buah bibir (hmmm… sok-sok an…). Tapi ya, ga bisa dihindarkan juga, fantasi temen2 tentang panda yang identik ma Ty pun kian liar (ups! Ga segitunya kaleee…). Iya, temen2 jadi re-telling adegan di beberapa scene Kung Fu Panda di depan Ty… tapi Ty ga tersinggung qo… kan Cuma guyon (ya kan???). lagian, kata pepatah, orang yang cepat tersinggung berarti ia sombong…

Yah… KKN… di mana2 pasti ada kenangannya. Unforgettable moments… so far, emosi Ty uda diubek-ubek selama KKN. Seneng karena dapet temen baru, Sedih karena harus ninggalin WA & temen2 kos, Ketawa-ketiwi karena tau kebiasaan & karakter temen yang baru ketauan setelah sekamar, Marah karena koordinasi dalam tim kurang, smpe Nangis karena konflik interpersonal dengan teman satu tim… huff… the problem’s come and gone…

However, Ty bersyukur karena masih diberi kepekaan emosi yang cukup tinggi, masih bisa menampakkan bermacam-macam ekspresi, masih diberi kehidupan yang ga mulus, masih dikelilingi teman2 yang care sama Ty,,, Loph u all! Viva Densus 88!!!

- t y -
Kamis, 7 Agustus 2008
07.55 a.m

http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.ucd.ie/quinn/t4cms/i_love_blogging-787805.jpg&imgrefurl=http://www.ucd.ie/quinn/aboutus/newsevents/title,27969,en.html&usg=__sKBWDHpTRwlF2beA3iW6D17iB3M=&h=300&w=300&sz=34&hl=id&start=1&itbs=1&tbnid=J21YCtgETe7rjM:&tbnh=116&tbnw=116&prev=/images%3Fq%3Dblogging%26gbv%3D2%26hl%3Did