Bukan maksud hati menganaktirikan blog ini, tapi memang kondisi batin dan ragaku akhir-akhir ini ga terlalu oke. Lebay sih... tapi pikiranku pun ikut-ikutan stuck in a moment (U2 banget yak?). Terlintas beberapa peristiwa selama satu bulan terakhir ini yang ingin kubagi dalam tulisan di sini, tapi manifestasinya ga optimal. Jadilah tulisan-tulisan setengah matang yang ga layak published. Namun kali ini agak ‘kupaksakan’ diri menulis, demi eksistensi blog ini. Karena aku akan merasa amat berdosa apabila blog ini tak lagi terurus dan aku pun tak tega membiarkan terlalu lama para pembaca setiaku yang menanti tulisan-tulisanku (PE-DE mode: ON). Hehehe...“Ternyata bukan kuantitas yang menjadi satu-satunya parameter keberhasilan”, celetuknya. Akhir November lalu, temanku – yang kau tidak tahu siapa – ini baru saja mendapatkan gift berupa Al Quran yang berisi lafal huruf latin plus terjemah – yang jika dibawa dengan satu tangan, kuyakin tanganmu itu akan terasa pegal, karena beratnya. Gift itu bisa jatuh ke tangannya karena panitia memberi penilaian berdasarkan jumlah kader binaan yang ia miliki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kader binaan yang dimiliki oleh kandidat penerima gift yang lain.
“Ternyata bukan kuantitas yang menjadi satu-satunya parameter keberhasilan. Aku merasa penilaian waktu itu nggak fair. Walaupun jumlah kader binaanku banyak, tapi hasilnya ga optimal, malah nggak bisa dibilang berhasil. Aku jadi malu sendiri”, kurang lebih seperti itu curhat temanku tadi pagi.
“Memang bener, tapi dalam waktu sempit, yang bisa kita nilai memang jumlahnya. Ga peduli isinya kaya gimana, kalo jumlahnya banyak, ya itu yang dianggap bagus”, aku coba berpendapat.
Seseorang dianggap kaya kalo diketahui harta bendanya banyak. Ga peduli didapat dari mana aja, dengan cara legal atau ilegal, halal atau haram, yang namanya orang kaya ya orang yang hartanya banyak. Kalo punya harta banyak, pasti ia bahagia.
Nilai raport atau IPK yang tinggi menunjukkan bahwa seorang pelajar/mahasiswa pandai. Ga peduli nilai itu didapat dari cara belajar yang sungguh-sungguh or just nyontek saat ujian, yang namanya mahasiswa pandai ya yang IPK-nya cum laude.
Kuantitas sering dijadikan penilaian sesaat untuk menentukan keberhasilan seseorang. Padahal, ga selamanya rumus tersebut berlaku. Size does matter, but it doesn’t always work well. Guru Matematika- ku waktu SMP sering berkata, “Lebih baik saya hanya punya murid 20, daripada punya murid 40 tapi susah diatur”. Hehe... waktu dulu, aku dan temen-temen sekelas emang bandel, ga bisa diam, maklum aja kalo gurunya ngeluh. Logikanya, kalo punya anak bimbingan dalam jumlah yang sedikit, penanganannya akan lebih intensif dan pengawasan pun bisa dilakukan secara detil, sehingga setiap person mendapat perhatian yang sama. Kalo muridnya banyak ya ga semua bisa di-handle dengan baik. Itulah kenapa sampai saat ini aku lebih senang ikut kelas kecil daripada kelas klasikal.
Begitu juga dengan item angket penelitian yang jumlahnya banyak, tapi konten-nya bertele-tele tidak lebih baik daripada angket penelitian yang jumlah item-nya sedikit, tetapi mengungkap seluruh aspek dari variabel yang ingin diukur. (Duh, jadi inget kerjaan niy...)
So, bersikap adillah dalam menilai sesuatu. Jangan hanya mementingkan kuantitas, lihatlah kualitasnya. Don’t judge candy by their amount, but look inside the package, shape, and feel the taste.
- t y -
23 Desember 2008
21.16 pm
Picture taken from: http://iushadisaputro.files.wordpress.com/2009/05/sedikit-jadi-bukit.jpg

Tidak ada komentar:
Posting Komentar