Selasa, 02 Maret 2010

Till Deaf Do Us Apart

19 November 2008 – Saya, Dini dan Rakhma membulatkan tekad pergi ke Purwokerto untuk bertemu dengan Danang. Kami harus menemuinya karena dia satu-satunya subjek yang kami butuhkan untuk bisa menyelesaikan tugas Psikologi Kesukaran Belajar. Setelah rumah Dini di Kalibagor menjadi tempat pertama yang kami singgahi begitu tiba di Purwokerto, daerah Jatiwinangun Gang Arjuna merupakan tempat kedua yang kami tuju. Di sanalah Danang tinggal.
Malam itu jam 20.00 Danang sudah tidur. Maka, esok paginya kami menemuinya di sekolahnya di daerah Cikebrok. Setelah mendapatkan izin dari Kepala Sekolah untuk melakukan observasi, kami langsung menuju ruang kelas Persiapan I, tempat Danang belajar. Sekuat telinga ini mendengar, yang saya tangkap hanya suara Bu Katinem yang mengeluarkan kata-kata berulang-ulang, disertai gerak bibir yang jelas, serta sesekali menempelkan tangan siswanya ke leher kokohnya sambil berkata “Suara! Suara!”. Begitulah cara guru-guru Sekolah Luar Biasa Bagian B Yakut yang dengan susah payah memperkenalkan kata-kata yang tidak pernah didengar oleh para siswanya. Susah payah juga para guru ini memancing siswanya untuk mengeluarkan suara mereka yang sama sekali tidak pernah mereka dengar.

Karim, Gian, Afi, Farah, Devon, Rizki, Nuzul, dan Danang bergantian menyalami kami bertiga sambil menggerakkan bibir mereka berusaha mengucapkan “As-sa-la-mu-alai-kum” atau “Se-la-mat pa-gi” dengan terputus-putus dan hampir tidak terdengar seperti “Assalamulaikum” atau “Selamat pagi” pada umumnya. Berada di kelas Persiapan I selama pelajaran berlangsung membuat saya tidak henti-hentinya mengucap asma Allah serta tersenyum bahagia melihat anak-anak “deaf-traordinary” ini yang dengan tekun memperhatikan apa yang dikatakan Bu Kat di depan kelas dan berani tampil ke depan menunjukkan hafalan huruf dan angka yang telah dipelajari. Di kelas itu pula saya belajar bahasa isyarat. Menyenangkan.
6 tahun usianya. Jahil tingkah lakunya. Manis senyumnya. Ramah sentuhannya. Melengking teriakannya. Sabar dan hebat keluarganya. Itulah Danang. Adik sepupu Rakhma ini divonis lemah syaraf pendengarannya saat usia satu tahun. Kemampuan bisa mendengar masih mungkin dialami Danang, dengan alat bantu dengar (ABD), tentunya. Beberapa tempat pengobatan dan penyedia ABD di Djokdja telah didatangi oleh Ibunda Danang. Namun, karena berbagai kendala, sampai saat ini Danang belum bisa mendapatkan ABD itu. Meskipun demikian, Danang masih bisa berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya dengan menggunakan bahasa isyarat. Di sekolah, Danang mau bersuara. Anehnya – menurut ibunya – Danang tidak pernah mengeluarkan suara ketika berkomunikasi dengan orang di rumahnya. Padahal menurut Bu Kat, yang terpenting bagi anak tuna rungu adalah melatih kemampuan mengeluarkan suaranya ketika ingin menyampaikan sesuatu, tidak hanya dengan bahasa isyarat saja.

Alasannya, tidak semua orang memahami bahasa isyarat yang dimengerti oleh para penyandang tuna rungu, sehingga apabila suara dapat dikeluarkan, maka lawan bicara yang merupakan orang awam bisa memahami apa yang disampaikan oleh anak-anak seperti Danang ini.

Allah memang tidak menciptakan makhluk-Nya dengan sia-sia. Tidak pula di dalam tubuh ciptaan-Nya hanya terdapat hal yang baik saja atau pun hal yang buruk saja. Contohnya Danang, di balik ketidakberfungsian telinganya, Danang sangat cepat menangkap hal-hal baru melalui matanya. Daya ingat yang tajam membuat Danang unggul pada beberapa hal, termasuk pengenalan benda-benda yang ada di sekitarnya. Menurut ibunya, Danang termasuk anak yang disiplin. Misalnya, begitu bangun tidur, Danang langsung mandi, lalu bersiap ke sekolah. Pulang sekolah – tanpa dikomandoi – Danang mengganti bajunya sendiri, mengambil baju di lemari dengan rapi tanpa berantakan. Setelah berganti baju, Danang langsung mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan oleh guru kelasnya. Menurut ibunya, Danang pernah tidak mengerjakan PR yang diberikan oleh Bu Kat, dan ia sangat menyesal, sehingga setiap PR yang diberikan pasti dikerjakannya dengan baik. Selesai bermain, semua mainannya dirapikan ke tempat semula. Danang tidak pernah mengambil atau merebut barang milik orang lain.

Sebaliknya, Danang paling tidak suka apabila barang-barang miliknya diambil atau dirusak oleh orang lain. Danang memiliki satu kakak yang dengan penuh pengertian membersamainya, meskipun terkadang mereka berkelahi. Tidak jarang pula Danang yang memulai perkelahian dengan kakaknya, karena memang Danang memiliki sifat jahil. Danang tinggal di rumah yang terdiri dari empat keluarga yang menempati rumah yang sama, sehingga interaksi sosialnya tidak terhambat. Dengan saudara sepupunya, Danang biasa bermain dan bercanda di rumah. Keluarga besar Danang pun memahami, mendukung, dan menyayangi Danang seperti anak-anak normal pada umumnya.

Melalui Danang, saya jadi tahu makna bersyukur yang seharusnya saya panjatkan kepada Allah SWT. Bahwa Allah tidak menyia-nyiakan hamba-Nya. Bahwa Allah menciptakan makhluk sesuai dengan bentuk terbaiknya. Bahwa segala hal yang baik menurut manusia belum tentu baik di mata Allah, dan segala hal yang buruk di mata manusia belum tentu buruk di mata Allah. Bahwa di balik kekurangan pasti ada kelebihan yang luar biasa. Bahwa segala kekuasaan dan kemahaan hanya milik Allah semata.

- t y -
24 November 2008
23.45 p.m.

Picture taken from: http://www.afunnystuff.com/images/Deaf%20Child.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar