Selasa, 02 Maret 2010

Menjelaskan Perilaku Prososial: Mengapa Orang Menolong?

Ingatkah kawan, ketika guru kita sejak SD hingga SMA selalu memberi pelajaran kepada kita bahwa manusia memiliki dua fitrah, yaitu sebagai makhluk individual dan makhluk sosial. Tentunya pelajaran itu pernah muncul pada soal ulangan harian Ilmu Pengetahuan Sosial, bukan? Tidak ada yang menyangsikan kebenaran itu. Selain kedua fitrah manusia yang telah kita pelajari sejak kecil, ada satu lagi fitrah manusia yang paling penting, yaitu manusia sebagai makhluk berketuhanan. Adalah Kuypers – seorang ilmuwan sosial dari Belanda – salah satu ilmuwan yang mengemukakan teori hakikat manusia tersebut. Teori lain tentang manusia diuraikan oleh Aristoteles, yaitu bahwasanya manusia merupakan makhluk tertinggi di dunia, sehingga manusia dibedakan dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan secara bertingkat-tingkat. Hanya manusialah yang mempunyai rasio kecerdasan dan kemauan, demikianlah teori dari Aristoteles.

Namun, tahukah kawan? Jauh sebelum Kuypers dan Aristoteles lahir, Allah SWT telah lebih dulu mencatatkan teori-Nya yang Maha Sempurna tentang manusia. Dalam Q.S. Ar Ruum (30): 30, Allah SWT berfirman bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang memiliki naluri beragama, yaitu agama tauhid. Dalam Q.S. As Sajdah (32): 7 pun Allah SWT berfirman bahwa Dia menciptakan segala sesuatu dengan bentuk terbaiknya, termasuk manusia - yang penciptaannya diawali dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Selain itu, Allah SWT juga telah memberikan keistimewaan bagi manusia berupa akal yang membedakan manusia dari makhluk Allah yang lain.

Di balik ketiga fitrah manusia tersebut, ada satu hal yang menggelitik pikiran saya untuk menulisnya di sini. Suatu perbuatan yang – secara sadar atau tidak – sering dilakukan oleh manusia terhadap manusia yang lain. Perbuatan yang bisa membuat seorang manusia merasa berharga dan bermanfaat bagi manusia lain. Sebaliknya, membuat seorang manusia merasa diperhatikan dan dapat merasakan indahnya ukhuwah yang terjalin antara umat manusia. Perbuatan yang dalam teori Psikologi Sosial dikategorikan sebagai perilaku prososial, yaitu TOLONG MENOLONG.

Apa yang sebenarnya memotivasi seseorang untuk melakukan perilaku prososial? Ada orang yang mengatakan bahwa ia memberikan pertolongan kepada orang lain dengan alasan moral – “Itu adalah hal yang benar untuk dilakukan” atau “Itu cara orang tua saya membesarkan saya” atau “Tuhan menempatkan saya di sana untuk suatu alasan”. Ada juga orang yang mengatakan bahwa orang melakukan tindakan baik hanya karena prospek mendapatkan hadiah (reward) berupa surga untuk selama-lamanya.

Kemungkinan penjelasan yang paling tidak egois dari perilaku prososial adalah bahwa orang yang empatik menolong orang lain karena “Rasanya menyenangkan untuk berbuat baik”. Berdasarkan pada asumsi ini, Batson dkk (1981) mengajukan hipotesis empati-altruisme (empathy-altruism hypothesis) yang mengungkapkan bahwa setidaknya beberapa perilaku prososial hanya dimotivasi oleh keinginan tidak egois untuk menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan. Motivasi menolong ini dapat menjadi sangat kuat, sehingga individu yang memberi pertolongan bersedia terlibat dalam aktivitas yang tidak menyenangkan, berbahaya, dan bahkan mengancam nyawa. Perasaan simpati dapat menjadi sangat kuat, sehingga mereka mengesampingkan semua pertimbangan lain.

Teori yang lain mengungkapkan bahwa orang-orang kadang-kadang menolong karena mereka berada pada suasana hati yang jelek dan ingin membuat diri sendiri merasa lebih baik. Penjelasan dari perilaku prososial ini dikenal sebagai model mengurangi keadaan negatif (negative-state relief model). Dengan kata lain, perilaku prososial dapat berperan sebagai perilaku self-help untuk mengurangi perasaan negatif diri sendiri.

Secara umum, benar bahwa perasaan menjadi lebih baik akan dirasakan apabila seseorang dapat memberi pengaruh positif pada orang lain. Secara harfiah, memberi dapat benar-benar lebih baik daripada menerima. Menolong kemudian dapat dijelaskan berdasarkan hipotesis kesenangan empatik (empathic-joy hypothesis) yang mengatakan bahwa sang penolong memberikan respons pada kebutuhan orang yang ditolong karena ia ingin merasa lebih baik setelah berhasil mencapai sesuatu.

Islam sebagai agama yang sempurna telah lebih dulu memiliki teori tentang tolong-menolong antar umat manusia. Dalam Q.S. Al Maa’idah (5): 2, Allah SWT telah memerintahkan kepada umat manusia agar saling tolong menolong dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Alangkah indahnya apabila kita umat manusia – di sepanjang hidup kita – dapat saling tolong menolong. Gunakan waktu hidup sebaik-baiknya, teman! Jangan biarkan diri kita menyesal seperti orang-orang musyrik di hari pembalasan nanti – yang ketika dikumpulkan bersama orang-orang zalim lainnya dan para sesembahan yang mereka sembah selain Allah SWT – ditahan di tempat perhentian seraya ditanya: “Kenapa kamu tidak tolong menolong?” (Q.S. Ash Shaaffaat (37): 20-25).

Tolong menolonglah selagi diri kita masih berdiri tegak menjemput rizki Allah di dunia karena ketika kontrak hidup kita telah habis dan ruh telah terpisah dari jasad kita, maka pada hari (kiamat) itu kita tidak bisa saling menolong, bahkan terhadap keluarga kita sendiri (Q.S. Al Mu’minuun (23): 101).

Wallahu a’lam bi showab.

Sumber:
- Al Qur’anul Karim
- Baron, R.A., Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial jilid 2. Erlangga: Jakarta.
- Gerungan, W.A. 2002. Psikologi Sosial. Refika Aditama: Bandung.

- t y a s -
Yk, 20 Maret 2009
15.49 pm

Picture taken from: http://shavuatov.files.wordpress.com/2009/07/helping-hand.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar