Selasa, 02 Maret 2010

Trying to get out of the blue...

Dini hari, panas banget, mungkin suhu kamarku mencapai 35 derajat celcius kali ya... subhanallah... ini belum di neraka, ty... istighfar... ‘^o^

Habiz nge-game “Luxor” sama “Chainz Relinked”, ga bisa bubu, sekalian aja ngupi Coffeemix. Uda tau ketagihan, eh masih aja neggak kopi. How can I stop this??? Help me please...

Membongkar-bongkar isi hard disk, kutemukan folder berisi 49 tulisanku yang pernah dimuat di dalam sebuah blog pribadi. Tiba-tiba muncul kembali hasrat untuk membuat sebuah account blog di situs berbeda. Aku ingin tak terlihat. There’s just me, only me, with all mine... It would be nice... let’s start it tomorrow... hoho...

Masya Allah, bau banget badanku malem ini... rasanya pengen mandi, tapi tengah malem... mandi kembang kaleee.... hihi...

Untuk me-launching blog yang baru ini, aku akan me-repost tulisan-tulisanku yang pernah ku-post di blog lamaku. Karena semua tulisan itu menjadi cermin diriku selama 2 tahun terakhir ini. Sepenggal kisah lama yang indah. ini tulisanku yang ke-50 dalam kurun waktu 2 tahun. Ga produktif yak??? Well, i’m trying... at least... heheh... ;p so, enjoy it...

Tyas 10 nov 2009 01.20 am

Picture taken from: http://www2.umy.ac.id/wp-content/uploads/2008/12/tulisan.jpg

10 Ramadlan 1430 H/ 31 Agustus 2009

Bismillahirrahmanirrahim...

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh...

Alhamdulillahi rabbil’alamin... nikmat Islam, iman, hidayah, dan ‘afiyah dari-Mu masih kurasakan hingga detik ini, Ya Allah... tiada rencana aku menulis ini malam ini, tetapi aku perlu mencurahkan segala perasaanku saat ini.

Entahlah, sudah berapa ratus kali aku curhat pada-Mu, Ya Allah... karena dengan curhat kepada-Mu hatiku menjadi tentram kembali. Segala yang Kau timpakan kepadaku sungguh indah dan sarat hikmah. Aku bersyukur karna menjadi orang yang kau pilih untuk memikul cobaan ini. Tidak setiap orang Kau beri nikmat ini, Ya Allah... ini semua Kau berikan kepadaku karna suatu alasan yang jelas. Aku yakin itu, karena janji-Mu adalah pasti.

Proses ini merupakan salah satu tarbiyah yang Kau berikan secara langsung padaku. Tarbiyah yang insya Allah aku tlah memperoleh esensinya, hikmahnya. Subhanallah... karena proses inilah aku lebih menghargai waktu, lebih menghargai ilmu, lebih menghargai manfaat shadaqah, lebih menghargai potensi diri, lebih menghargai fasilitas yang kumiliki, dan lebih bersyukur atas segala keindahan yang tlah Kauberi. Indah, Ya Allah... Maha Suci Engkau yang telah menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia...

Beri aku kekuatan untuk menghadapi ujian ini, Ya Allah... karena hanya dengan kekuatan-Mu lah aku bisa berdiri dan menengadahkan kepala. Hanya dengan kasih sayang-Mu aku dapat menebar senyum dan kelembutan hati di hadapan saudara-saudaraku. Hanya dengan hidayah-Mu aku dapat berjalan di muka bumi ini. Hanya dengan sibghah-Mu aku dapat ber-amar ma’ruf nahi munkar. Hanya dengan segala campur tangan-Mu aku dapat bermanfaat dan memperoleh kemanfaatan dari alam semesta dan seluruh makhluk-Mu.

Ya Allah...
rengkuhlah aku,
peluk erat aku,
jangan biarkan aku terjatuh dan terjerembab,
hindarkan aku dari godaan syaithan
dan jauhkan syaithan dari rizki yang Kau berikan untukku,
limpahkanlah karunia dan nikmat-Mu kepadaku
sebagaimana yang Engkau limpahkan bagi orang-orang shalih...

Amin...

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh...

- Tyas -
Jogja, 00.48

Picture taken from: http://enengnurul.files.wordpress.com/2009/11/doa.jpg

Satu Rindu, Satu Mimpi

Kalau mendengar lagu ‘Satu Rindu’ dari Bang Opick, pasti teringat Ibu. Ya iya lah, lagu itu kan memang bercerita tentang kerinduan seorang anak kepada ibunya. Persis seperti apa yang sedang aku rasakan sekarang.

Semalam mendapat kabar dari Bapak bahwa Bapak, Ibu, dan Mba Dhani sedang ada di Depok, liburan di rumah Om Wowo. Senangnya... liburan ke luar kota dan menikmati liburan yang sebenarnya. Bagiku, setiap hari bisa dijadikan sebagai hari libur, tetapi lebih bijaksana kalau menjadikan setiap hari sebagai hari kerja, termasuk hari ahad. Kalau ga begitu, skripsi ini ga akan selesai-selesai. Keep fighting!

Pagi ini, aku sempat meluangkan waktu untuk membayangkan satu per satu wajah keluargaku tercinta. Bapak, Ibu dan Mba Dhani yang dalam kurun waktu 4 tahun ini tinggal bertiga di rumah kami Tegal. Mba Pipit, Mas Agung dan Rara sudah 2 tahun tinggal di Adelaide, dan akan lebih lama lagi tinggal di sana. Mba Wulan dan Mas Andri yang baru membina rumah tangga menetap di Surabaya.

Lihatlah aku. Di Jogja aku sendiri, 22 tahun, berstatus single, beraktivitas sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sedang berjuang mengukir kunci untuk membuka pintu keluar dari Fakultas Psikologi Gadjah Mada. Sebuah kenyataan yang amat menyedihkan dan bisa membuatku membusuk jika aku tak bersyukur.

Sama busuknya seperti mimpi yang kualami menjelang Shubuh tadi. Mimpi itu bercerita tentang aku dan Ibu. Di dalam mimpi itu, aku ingin bercerita kepada ibu tentang kelucuan Rara – keponakanku satu-satunya. Entah mengapa, Ibu menolak mendengarkan ceritaku dengan mengibaskan tangan, alis berkerut, bibir tanpa senyuman, mata yang tidak sedikit pun melirik ke arahku, dan berkata, “Ssshhh, sana, sana!” Sesaat setelah peristiwa menyakitkan itu, Ibu menghampiri kakak-kakakku seraya mengobrol dan bercengkrama dengan mereka. Bayangkan betapa sakitnya hati ini... Mengapa nightmare seperti ini kualami?

5 jul 2009
Picture taken from: http://a-rose-designs.com/a-rs-des-cards/images/love1st-rose-card.jpg

Kusesali Tidur Siang Itu

Udara dini hari memang sangat menyehatkan, bersih tak terkontaminasi, juga bisa menyegarkan pikiran. Tak terasa pagi itu penunjuk waktu di laptop menunjukkan angka 4:10 am. Malam yang terasa amat panjang.

Aku teringat, saat itu aku sedang berada di titik kebuntuan dalam menyelesaikan skripsiku. Tertidur jam 11 malam dengan keadaan laptop menyala, lalu terbangun jam 12 malam. Kuputuskan untuk menenggak segelas kopi sebagai penghilang rasa kantuk. Jam 12 hingga jam 2 dini hari kupaksakan diriku menantang layar laptop dengan tekad merampungkan dua literatur buku sebagai rujukan teori dalam skripsiku. Namun, yang kuhasilkan dalam 2 jam penuh rasa kantuk itu tidak lebih dari satu paragraf tulisan. Sebuah pekerjaan yang sangat jauh dari kata produktif.

Setelah indikator low battery muncul di layar, segera kuputuskan untuk memejamkan mata sejenak. Dengan posisi menelungkup di atas kasur menghadapi sebendel buku tebal berbahasa Inggris ‘Handbook of Emotion’, plus alunan lagu ‘Only Hope’ milik Mandy Moore yang terdengar dari radio bututku, aku menganggap posisi wuenak ini bisa mengantarkan rasa kantukku ke alam mimpi, meskipun posisi tidur menelungkup adalah seburuk-buruk posisi tidur ahli neraka. Na’udzubillahi min dzalik.

Selesai sudah Mandy Moore melantunkan ‘Only Hope’, tapi tak jua mata ini terpejam. Beruntung, di saat sepi seperti itu aku masih bisa berpikir, merenungkan apa yang telah kualami hari itu. Tidak ada yang spesial pada hari Jumat itu kecuali satu hal. Baru kali itu aku merasa sangat berdosa dan menyesal karena telah tidur siang. Tidur siang yang tidak direncanakan, tepatnya.

Layaknya seorang peneliti yang sangat berantusias merampungkan penelitiannya, aku pun akan melakukan segala hal untuk melancarkan skripsiku agar lekas maju ke meja pendadaran. Salah satu ikhtiarku pagi itu adalah mengirim sms untuk Dosen Pembimbing Skripsi-ku. Kalau kau mau tau, begini isi sms-ku:

“Aslmkm.bu Sofie, hr ini sy akan mnyrahkan draft bab 1&2, skaligus mngambil revisi bab 3&4.ibu bs dtmui jm brp?trmaksih...”

Tidak ada yang salah dengan bunyi sms-ku itu kan? Menurut pengalamanku menghubungi dosen via sms, bahasa sms yang kugunakan itu sudah kuanggap cukup sopan, meskipun penyingkatan kata-kata mutlak dilakukan, demi efisiensi penggunaan space lembar sms tentunya. Kutunggu balasan sms dari Bu Sofie, namun hingga waktu sholat Jumat usai, tak jua kuterima balasan sms yang kuharapkan.

Dugaan sementara yang ada di kepalaku saat itu adalah bahwa Bu Sofie sedang tidak bisa diganggu karena banyak pekerjaan yang harus dilakukan hari itu. Oke, berarti aku harus menunggu hingga hari Senin untuk bisa mengambil revisi bab 3 & 4-ku itu.

Seusai having lunch, aku menuju kamar Rin-chan untuk mem-print draft bab 1 & 2 yang akan kuserahkan kepada Bu Sofie. Seolah sejalan dengan pikiranku, printer Rin-chan mendadak kehabisan tinta. Tinta kuisi, tapi huruf-huruf di layar laptopku tak jua tercetak di atas kertas A4 yang telah kusiapkan.

Ya sudah, ketidakberfungsian printer Rin-chan itu semakin menguatkan asumsi bahwa Bu Sofie baru bisa ditemui hari Senin, so, Bab 1 & 2 ini akan kuserahkan hari Senin saja, sekaligus mengambil revisi sebelumnya. Akibat kesalahan pengambilan asumsi tadi, semangatku siang itu pun mengendor, hingga mata ini terpejam dan tubuh ini terbaring di peraduanku nan nyaman.

Terbangun pukul 15.40 menjadi awal malapetaka hari itu. Seperti kebanyakan orang lakukan, begitu mata ini terbuka dari alam tidur, tanganku refleks menyambar handphone yang tergeletak di atas bantal. Bu Sofie membalas sms! Bunyinya:

“Revisi skripsi, bs diambil siang ini”

Oh, my! Tertulis di layar handphone, sms diterima pada pukul 14:39. Ku tertawa miris di dalam hati, dan senyum meringis terpancar dari wajah bulatku. Dengan kehilangan konsentrasi, aku segera mandi, dilanjutkan dengan sholat Ashar, siap-siap, cabut ke kampus.

Emang dasar dudung... Sampe kampus, kok sepi amat... Pintu masuk Gedung A sudah tertutup rapat. Di pos satpam hanya ada bapak yang biasa jagain motor. Tanya jawab di antara kami pun terjadi. Setelah puas mendapat jawaban dari bapak itu, aku melaju ke luar kampus dengan ekspresi menertawai diri sendiri dan malu pada Allah, karena telah berlaku ceroboh.

P.S. Hari Jumat kampus tutup jam 3, kok bisa ga kepikiran yak??? Ckckckck...

Ty, 04 Juli 2009

Picture taken from: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg15mkwxeMf0cnelId_TuDzmV_5z0urfOC0p-PBizfwRKz2rBLtcIYNVHnzrU3NJBECYWibc69ivRxuNU-dwI4Kh647U6agSkw0a4tZORlM4AwoRgwi5TIQGvGRztTqqhH-3xcAD13wmmKw/s320/bayi-tidur.gif

Tak Sempurna

Pemilu 2009 emang tidak hanya berefek pada segelintir orang dan pada sepetak bidang keilmuan, tetapi juga membawa dampak secara tidak langsung pada kehidupan seseorang, yaitu aku. Agak ga penting memang... Tapi ‘berkat’ Pemilu 2009 ini, aku jadi penghuni tunggal kos Wisma Ana. Ga juga sih,,, masih ada mba Dwi, tapi kamarnya sangat berjauhan dengan kamarku, sehingga kami jarang sekali berinteraksi, apalagi aktivitas keseharian kami juga berbeda. Mba Dwi adalah seorang pegawai Wisma MM UGM, sedangkan aku adalah seorang ‘peneliti’ yang bernaung di bawah lindungan Fakultas Psikologi UGM (baca: mahasiswa yang sedang nggarap skripsi). Hehe...
Tetangga kamar pada pulang kampung. Nyontreng plus long weekend holiday di habitatnya masing-masing. Huhu... senangnya... Bertolak belakang dengan nasibku yang dilarang pulang sama ortu coz bulan Maret kemaren uda dua kali pulkam... berat di ongkos, cuy... Jadilah nyontreng plus ber-long weekend di Jogja. Tapi ga holiday... coz banyak kerjaan menanti untuk kusentuh.
Salah satu pekerjaan rumah tangga yang harus kulakukan yaitu: beberes kamar 3x3 meter yang sudah tiga tahun kutinggali ini. Aku termasuk orang yang tidak menyukai keheningan, namun tidak juga menyukai keributan. At least, adanya suara-suara yang mengiringi aktivitasku akan membuat pekerjaanku lebih enjoy dan berwarna. Salah satu Alat termurah yang bisa bersuara dan menemaniku melakukan pekerjaan rumah tangga adalah portable 3 band radio dengan speaker berukuran 10x10 cm dan dihidupkan oleh 2 buah baterai ukuran besar. Radio yang kudapatkan dari Bapakku yang membelinya di salah satu toko elektronik di Jogja 4 tahun yang lalu. Jadul banget yak...? Biar pun jadul, namun aku bangga memiliki radio yang bisa kubawa kemana-mana. Termasuk njemur baju di lantai 2, atau piket kamar mandi. Useful banget kan?
Btw, sebenarnya bukan radio jadulku itu yang ingin kuceritakan di sini. Ada suatu topik yang selalu mengganggu pikiranku beberapa bulan terakhir ini. Nah, beberapa jam lalu aku teringat kembali tentangnya.
Lantunan musik international past hits Geronimo FM menemani aktivitas beberes kamarku. Di tengah-tengah kenikmatanku mempercantik pintu dan dinding kamar, tiba-tiba Geronimo memutarkan lagu Perfect by Simple Plan. Entah kenapa, Kalo dengar lagu ini, ‘jiwa remaja yang sedang mencari jati diri’ merasuk tubuhku. Halah, lebay... I feel like the whole world is against me... Waduh, lebay lagi...
Just want you to know, guys... hampir 4 bulan ini aku merasakan pressure yang amat besar dari pihak-pihak tertentu. Apa lagi kalo bukan tentang masa depanku????!!! Cobalah untuk mengerti apa yang kurasakan saat ini dengan membaca lirik lagu Perfect by Simple Plan berikut.

“Perfect”
Simple Plan

Hey dad, look at me
Think back and talk to me
Did I grow up according to plan?
And do you think I’m wasting my time
Doing things I wanna do?
But it hurts when you disapprove all along

And now I try hard to make it
I just want to make you proud
I’m never gonna be good enough for you
I can’t pretend that I’m alright
And you can’t change me

‘Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I’m sorry, I can’t be perfect
Now it’s just too late
And we can’t go back
I’m sorry, I can’t be perfect

I try not to think
About the pain I feel inside
Did you know you used to be my hero?
All the days you spent with me
Now seem so far away
And it feels like you don’t care anymore

And now I try hard to make it
I just want to make you proud
I’m never gonna be good enough for you
I can’t stand another fight
And nothing’s alright

‘Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I’m sorry, I can’t be perfect
Now it’s just too late
And we can’t go back
I’m sorry, I can’t be perfect

Nothing’s gonna change the things that you said
Nothing’s gonna make this right again
Please don’t turn your back
I can’t believe it’s hard
Just to talk to you
But you don’t understand

‘Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I’m sorry, I can’t be perfect
Now it’s just too late
And we can’t go back
I’m sorry, I can’t be perfect

‘Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I’m sorry, I can’t be perfect
Now it’s just too late
And we can’t go back
I’m sorry, I can’t be perfect

- t y a s -
Yk, 11 April 2009
11.13 a.m.

Picture taken from: http://blog.efahmi.info/wp-content/uploads/2009/01/sempurna.jpg

BULAN RAJAB DAN PALESTINA

Peralihan musim hujan ke musim kemarau 2009 ini membuatku semakin susah beradaptasi dengan cuaca dan iklim. Flu beraaaaatttt... Hampir masuk hari ke enam, hidung ini tak jua lancar bernapas, mampet. Juga suara beningku yang jadi bindeng sengau serak-serak basah gitu deeehhh... Napas jadi pendek-pendek... Nikmat sehat emang harus disyukuri... Betapa pun buruknya keadaan kita, kalau badan kita sehat, alhamdulillah... banget...

Malem-malem... dingin... Tadi sore abis ujan gue...de... Ga menggairahkan untuk keluar kos-kosan. Bahkan sejak siang aku sudah mempersiapkan makanan musim dingin untuk hibernasi semalaman ini. Beruang kali ye... hehe... Abis, gimana lagi? Mau keluar cari makan, males... warung favorit terdekat ga jualan dari kemaren. Tapi malam ini harus makan, karena aku masih harus menenggak Decolgen – obat andalanku saat flu menyerang. Weitz.... kok jadi ngiklan gini???

Bertemankan Notty tercinta, aku jadi ga kesepian. Lantunan lagu-lagu favorit jadi penyemarak suasana yang sepi karena tetangga kamar pada pergi (Kasian deh gue...), serta memotivasiku untuk tetap bertahan hidup (lhoooo???).

Nah, pas buka-buka Notty, eh nemu artikel ini, yang uda lama terpendam di folder khusus yang kuberi nama ”Palestine”. Sengaja ga ada yang kuubah dari artikel ini, coz niatnya emang copy-paste. Hehe… Selain itu, walaupun bulan Rajab masih 3 bulan lagi, itung-itung kita mempersiapkan diri menyambut datangnya bulan Rajab. Just wants to share... hope it means something to you…

-------------------------------------------
BULAN RAJAB DAN PALESTINA2007-07-24 16:14:47

kispa.org - Bulan Rajab adalah bulan ke Tujuh dalam hitungan tahun Hijriyah, bulan yang patut dihormati karena memiliki kehormatan disamping bulan Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharram.
Bulan Rajab termasuk bulan Haram, karena pada bulan tersebut dilarang melakukan peperangan, dilarang (mengganggu) binatang-binatang hadyu (hewan-hewan kurban), dan binatang-binatang qalaa-id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan tidak boleh mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya.

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, (QS: At Taubah/9: 36).

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh (QS: Al Baqarah/2: 217).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang hadyu, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. (QS: Al Maa’idah/5: 2).

Bulan Rajab merupakan bulan Isra’ Mi’raj, bulan ketika Rasulullah saw, diperjalankan oleh Allah pada suatu malam, dari masjidil haram di kota suci Mekah, Saudi Arabia ke masjid Al Aqsha di kota suci Al Quds, Palestina, kemudian berlanjut ke Sidratul Muntaha dan mendapatkan perintah sholat lima kali sehari semalam, langsung dari Penguasa Alam Semesta, Allah swt. Peristiwa tersebut berlangsung pada tanggal 27 Rajab tahun ke 10 Kenabiaan.

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS: Al Israa’/17: 1).

Pernahkah kita berfikir sejenak, kenapa Allah swt menyinggahkan Rasulullah saw ke masjid Al Aqsha yang berada di kota suci Al Quds, Palestina ??? Bahkan Beliau saw bukan hanya mampir, akan tetapi juga memimpin sholat yang makmumnya adalah para Nabi dan Rasul terdahulu, Subhanallah, Walhamdulillah, Allahu Akbar!

Bukankah sangat mudah bagi Allah swt untuk memperjalankan Rasulullah saw langsung ke langit dan bertemu denganNya, sekali lagi sangat mudah, karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa.

Di antara hikmahnya adalah agar umat Nabi Muhammad saw di manapun mereka tinggal agar memiliki kecintaan dan kepedulian terhadap masjid Al Aqsha yang berada di tanah suci Al Quds, Palestina. Sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah saw dengan berkunjung dan melakukan shalat di dalamnya, bahkan beliau saw tahu dan hafal posisi masjid Al Aqsha berikut tiang-tiangnya.

Sekarang kondisi masjid Al Aqsha sedang terancam karena adanya galian/terowongan yang di buat oleh tangan kotor Zionis Israel, tujuannya adalah untuk menghancurkan kiblat pertama kaum muslimin, kemudian menggantinya dengan sinagog (tempat peribadatan) Yahudi. Apakah umat Islam rela masjid Al Aqsha dihancurkan zionis Israel penjajah bumi Palestina???

Bulan Rajab juga merupakan bulan dibebaskannya Baitul Maqdis dari tangan kaum Salib oleh Panglima Islam, Shalahuddin Al Ayyubi. Selama 88 tahun umat Islam tidak mampu membebaskan kota suci ketiga, Al Quds, karena umat Islam dilanda konflik internal dan banyak yang terjangkit penyakit Wahn ( cinta dunia dan takut mati), pada saat itu umat mengalami degradasi iman, degradasi ukhuwah sehingga mereka menjadi permainan musuh Islam, sungguh sangat menyedihkan. Hingga tampillah seorang pemimpin yang bertaqwa melakukan perlawanan dengan semangat Jihad fi Sabilillah, dengan izin Allah pada tanggal 27 Rajab 583 H/ 2 Oktober 1187 M, Baitul Maqdis dapat dibebaskan dengan cara yang bijaksana tanpa ada kekerasan dan cucuran darah. Mari kita jadikan momentum bulan Rajab sebagai bulan pembelaan terhadap Al Aqsha dari tangan kotor zionis Israel dan dukungan serta solidaritas bagi perjuangan rakyat palestina meraih kemerdekaan yang dicita-citakannya. Allahummanshur mujahidin fii Falistin 3X.

H. Ferry Nur S.Si. / Sekjen KISPA
(diakses pada 9 Agustus 2007)
-------------------------------------
- t y a s -
Yk, 2 April 2009
20.02 p.m

Picture taken from: http://fisan.files.wordpress.com/2006/10/bulan-terbelah-1.jpg

KISAH BUMI DAN LANGIT

Adapun terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah karena bumi merasa bangga atas langit. Berkata dia kepada langit, "Hai langit, aku lebih baik dari kamu karena Allah S.W.T. telah menghiaskan aku dengan berbagai-bagai negara, beberapa laut, sungai-sungai, tanam-anaman, beberapa gunung dan lain-lain."

Berkata langit, "Hai bumi, aku juga lebih elok dari kamu karena matahari, bulan, bintang-bintang, beberapa falah, buruj, 'arasy, kursi dan syurga ada padaku."

Berkata bumi, "Hai langit, di tempatku ada rumah yang dikunjungi dan untuk bertawaf para nabi, para utusan dan arwah para wali dan solihin (orang-orang yang baik)."

Bumi berkata lagi, "Hai langit, sesungguhnya pemimpin para nabi dan utusan bahkan sebagai penutup para nabi dan kekasih Allah seru sekalian alam, seutama-utamanya segala yang wujud serta kepadanya penghormatan yang paling sempurna itu tinggal di tempatku. Dan dia menjalankan syari'atnya juga di tempatku."

Langit tidak dapat berkata apa-apa, apabila bumi berkata demikian. Langit mendiamkan diri dan dia menghadap Allah S.W.T dengan berkata, "Ya Allah, Engkau telah mengabulkan permintaan orang yang tertimpa bahaya, apabila mereka berdoa kepada Engkau. Aku tidak dapat menjawab perkataan bumi, oleh itu aku minta kepada-Mu ya Allah supaya Muhammad Engkau naikkan kepadaku (langit) sehingga aku menjadi mulia dengan kebagusannya dan berbangga."

Lalu Allah S.W.T mengabulkan permintaan langit, kemudian Allah S.W.T memberi wahyu kepada Jibrail A.S pada malam tanggal 27 Rajab, "Janganlah engkau (Jibrail) bertasbih pada malam ini dan engkau 'Izrail jangan engkau mencabut nyawa pada malam ini."

Jibrail A.S. bertanya, " Ya Allah, apakah kiamat telah sampai?"
Allah S.W.T berfirman, maksudnya, "Tidak, wahai Jibrail. Tetapi pergilah engkau ke Syurga dan ambillah buraq dan terus pergi kepada Muhammad dengan buraq itu."

Kemudian Jibrail A.S. pun pergi dan dia melihat 40,000 buraq sedang bersenang-senang di taman Syurga dan di wajah masing-masing terdapat nama Muhammad. Di antara 40,000 buraq itu, Jibrail A.S. terpandang pada seekor buraq yang sedang menangis bercucuran air matanya. Jibrail A.S. menghampiri buraq itu lalu bertanya, "Mengapa engkau menangis, ya buraq?"

Berkata buraq, "Ya Jibrail, sesungguhnya aku telah mendengar nama Muhammad sejak 40 tahun, maka pemilik nama itu telah tertanam dalam hatiku dan sesudah itu aku menjadi rindu kepadanya dan aku tidak mau makan dan minum lagi. Aku laksana dibakar oleh api kerinduan."
Berkata Jibrail A.S., "Aku akan menyampaikan engkau kepada orang yang engkau rindukan itu."

Kemudian Jibrail A.S. memakaikan pelana dan kekang kepada buraq itu dan membawanya kepada Nabi Muhammad S.A.W. Wallahu'alam.

Buraq yang diceritakan inilah yang membawa Rasulullah S.A.W dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj.

Sumber:
- Al Qur’anul Karim
- 1001 Kisah Teladan (File created by HEKSA)

Al Furqaan (25): 63
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”

- t y a s -
Yk, 1 April 2009
22.03 p.m.

Picture taken from: http://loopdreamer.files.wordpress.com/2009/05/bumi1.jpg


Menjelaskan Perilaku Prososial: Mengapa Orang Menolong?

Ingatkah kawan, ketika guru kita sejak SD hingga SMA selalu memberi pelajaran kepada kita bahwa manusia memiliki dua fitrah, yaitu sebagai makhluk individual dan makhluk sosial. Tentunya pelajaran itu pernah muncul pada soal ulangan harian Ilmu Pengetahuan Sosial, bukan? Tidak ada yang menyangsikan kebenaran itu. Selain kedua fitrah manusia yang telah kita pelajari sejak kecil, ada satu lagi fitrah manusia yang paling penting, yaitu manusia sebagai makhluk berketuhanan. Adalah Kuypers – seorang ilmuwan sosial dari Belanda – salah satu ilmuwan yang mengemukakan teori hakikat manusia tersebut. Teori lain tentang manusia diuraikan oleh Aristoteles, yaitu bahwasanya manusia merupakan makhluk tertinggi di dunia, sehingga manusia dibedakan dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan secara bertingkat-tingkat. Hanya manusialah yang mempunyai rasio kecerdasan dan kemauan, demikianlah teori dari Aristoteles.

Namun, tahukah kawan? Jauh sebelum Kuypers dan Aristoteles lahir, Allah SWT telah lebih dulu mencatatkan teori-Nya yang Maha Sempurna tentang manusia. Dalam Q.S. Ar Ruum (30): 30, Allah SWT berfirman bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang memiliki naluri beragama, yaitu agama tauhid. Dalam Q.S. As Sajdah (32): 7 pun Allah SWT berfirman bahwa Dia menciptakan segala sesuatu dengan bentuk terbaiknya, termasuk manusia - yang penciptaannya diawali dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Selain itu, Allah SWT juga telah memberikan keistimewaan bagi manusia berupa akal yang membedakan manusia dari makhluk Allah yang lain.

Di balik ketiga fitrah manusia tersebut, ada satu hal yang menggelitik pikiran saya untuk menulisnya di sini. Suatu perbuatan yang – secara sadar atau tidak – sering dilakukan oleh manusia terhadap manusia yang lain. Perbuatan yang bisa membuat seorang manusia merasa berharga dan bermanfaat bagi manusia lain. Sebaliknya, membuat seorang manusia merasa diperhatikan dan dapat merasakan indahnya ukhuwah yang terjalin antara umat manusia. Perbuatan yang dalam teori Psikologi Sosial dikategorikan sebagai perilaku prososial, yaitu TOLONG MENOLONG.

Apa yang sebenarnya memotivasi seseorang untuk melakukan perilaku prososial? Ada orang yang mengatakan bahwa ia memberikan pertolongan kepada orang lain dengan alasan moral – “Itu adalah hal yang benar untuk dilakukan” atau “Itu cara orang tua saya membesarkan saya” atau “Tuhan menempatkan saya di sana untuk suatu alasan”. Ada juga orang yang mengatakan bahwa orang melakukan tindakan baik hanya karena prospek mendapatkan hadiah (reward) berupa surga untuk selama-lamanya.

Kemungkinan penjelasan yang paling tidak egois dari perilaku prososial adalah bahwa orang yang empatik menolong orang lain karena “Rasanya menyenangkan untuk berbuat baik”. Berdasarkan pada asumsi ini, Batson dkk (1981) mengajukan hipotesis empati-altruisme (empathy-altruism hypothesis) yang mengungkapkan bahwa setidaknya beberapa perilaku prososial hanya dimotivasi oleh keinginan tidak egois untuk menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan. Motivasi menolong ini dapat menjadi sangat kuat, sehingga individu yang memberi pertolongan bersedia terlibat dalam aktivitas yang tidak menyenangkan, berbahaya, dan bahkan mengancam nyawa. Perasaan simpati dapat menjadi sangat kuat, sehingga mereka mengesampingkan semua pertimbangan lain.

Teori yang lain mengungkapkan bahwa orang-orang kadang-kadang menolong karena mereka berada pada suasana hati yang jelek dan ingin membuat diri sendiri merasa lebih baik. Penjelasan dari perilaku prososial ini dikenal sebagai model mengurangi keadaan negatif (negative-state relief model). Dengan kata lain, perilaku prososial dapat berperan sebagai perilaku self-help untuk mengurangi perasaan negatif diri sendiri.

Secara umum, benar bahwa perasaan menjadi lebih baik akan dirasakan apabila seseorang dapat memberi pengaruh positif pada orang lain. Secara harfiah, memberi dapat benar-benar lebih baik daripada menerima. Menolong kemudian dapat dijelaskan berdasarkan hipotesis kesenangan empatik (empathic-joy hypothesis) yang mengatakan bahwa sang penolong memberikan respons pada kebutuhan orang yang ditolong karena ia ingin merasa lebih baik setelah berhasil mencapai sesuatu.

Islam sebagai agama yang sempurna telah lebih dulu memiliki teori tentang tolong-menolong antar umat manusia. Dalam Q.S. Al Maa’idah (5): 2, Allah SWT telah memerintahkan kepada umat manusia agar saling tolong menolong dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Alangkah indahnya apabila kita umat manusia – di sepanjang hidup kita – dapat saling tolong menolong. Gunakan waktu hidup sebaik-baiknya, teman! Jangan biarkan diri kita menyesal seperti orang-orang musyrik di hari pembalasan nanti – yang ketika dikumpulkan bersama orang-orang zalim lainnya dan para sesembahan yang mereka sembah selain Allah SWT – ditahan di tempat perhentian seraya ditanya: “Kenapa kamu tidak tolong menolong?” (Q.S. Ash Shaaffaat (37): 20-25).

Tolong menolonglah selagi diri kita masih berdiri tegak menjemput rizki Allah di dunia karena ketika kontrak hidup kita telah habis dan ruh telah terpisah dari jasad kita, maka pada hari (kiamat) itu kita tidak bisa saling menolong, bahkan terhadap keluarga kita sendiri (Q.S. Al Mu’minuun (23): 101).

Wallahu a’lam bi showab.

Sumber:
- Al Qur’anul Karim
- Baron, R.A., Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial jilid 2. Erlangga: Jakarta.
- Gerungan, W.A. 2002. Psikologi Sosial. Refika Aditama: Bandung.

- t y a s -
Yk, 20 Maret 2009
15.49 pm

Picture taken from: http://shavuatov.files.wordpress.com/2009/07/helping-hand.jpg

BoneKa beRuanG hitAm puTih

Panda raksasa atau beruang bambu ini berahang pendek, berbulu di telapak kakinya, dan berbulu kasar-tebal yang terbagi atas bagian-bagian berwarna hitam dan putih. Karena warna bulunya yang hitam dan putih, maka panda juga disebut ‘kaki kucing hitam putih’. Kok kucing? Nah, jangan bingung... ‘Kaki kucing hitam putih’ adalah terjemahan bahasa Yunani untuk nama panda raksasa.

Hewan yang pemalu ini hidup di hutan bambu di pegunungan tinggi Tibet Timur atau Cina Selatan. Hewan ini amat langka dan tidak begitu dikenal. Panda ditemukan pada tahun 1869 oleh seseorang berkebangsaan Perancis dan baru diimpor ke Eropa dan Amerika pada tahun 1930an. Kini hanya terdapat sejumlah kelompok panda yang hidup dalam kandang. Namun, mereka menarik banyak pengunjung ke kebun binatang tempat mereka tinggal.

Beberapa orang menganggap hewan molek ini sebagai boneka beruang hitam putih. Padahal, sebenarnya panda adalah keluarga jauh beruang dan malah lebih dekat dengan keluarga racoon. Entah karena langka atau karena kemolekannya, panda telah dipilih sebagai simbol organisasi perlindungan satwa liar terbesar, yaitu Dana Satwa Liar Dunia (The World Wildlife Fund - WWF).

Pada tahun 1939, seorang pemburu membawa empat ekor panda hidup ke luar dari lingkungan alamnya dan dikirim ke London. Ada cerita menarik tentang hal ini. Teman-teman tahu kan, kalau panda itu pemakan rebung bambu? Nah, waktu itu kebun binatang London ngga punya persediaan rebung bambu. Maka pihak pengelola kebun binatang itu meminta semua spesialis yang bertugas memelihara panda untuk menemukan menu pengganti bambu yang cocok untuk panda-panda itu. Setelah begadang malam-malam membaca buku (buku resep masak, kali ya???), akhirnya para spesialis itu menemukan satu cara untuk mengganti menu bambu tersebut. Gimana, coba? Caranya, mereka merebus wortel dan menyuguhkannya di dalam pincuk daun bambu untuk si panda. Mungkin resep itu namanya ‘Pepes wortel daun bambu’ (hehe... ngarang ajah...). Apa yang terjadi, sodara-sodara??? Panda itu terkecoh dan melahapnya dengan senang. Dengan demikian, selesailah masalah rebung yang sempat membuat pusing para pawang panda...

Oh iya, panda kecil atau panda asli juga amat menyukai rebung bambu. Hewan ini kadang-kadang disebut beruang-kucing karena panda kecil ini tampak seperti beruang kecil yang bertingkah laku seperti kucing besar. Hihihi... lucu yah???

Dari berbagai sumber dan beberapa perubahan yang diperlukan.

- t y -
Yk, 10 Januari 2009
23.15 p.m.

Picture taken from: http://static.guim.co.uk/Guardian/environment/gallery/2007/nov/12/wildlife/Giant-panda1C-David-Sheppar-8146.jpg

Till Deaf Do Us Apart

19 November 2008 – Saya, Dini dan Rakhma membulatkan tekad pergi ke Purwokerto untuk bertemu dengan Danang. Kami harus menemuinya karena dia satu-satunya subjek yang kami butuhkan untuk bisa menyelesaikan tugas Psikologi Kesukaran Belajar. Setelah rumah Dini di Kalibagor menjadi tempat pertama yang kami singgahi begitu tiba di Purwokerto, daerah Jatiwinangun Gang Arjuna merupakan tempat kedua yang kami tuju. Di sanalah Danang tinggal.
Malam itu jam 20.00 Danang sudah tidur. Maka, esok paginya kami menemuinya di sekolahnya di daerah Cikebrok. Setelah mendapatkan izin dari Kepala Sekolah untuk melakukan observasi, kami langsung menuju ruang kelas Persiapan I, tempat Danang belajar. Sekuat telinga ini mendengar, yang saya tangkap hanya suara Bu Katinem yang mengeluarkan kata-kata berulang-ulang, disertai gerak bibir yang jelas, serta sesekali menempelkan tangan siswanya ke leher kokohnya sambil berkata “Suara! Suara!”. Begitulah cara guru-guru Sekolah Luar Biasa Bagian B Yakut yang dengan susah payah memperkenalkan kata-kata yang tidak pernah didengar oleh para siswanya. Susah payah juga para guru ini memancing siswanya untuk mengeluarkan suara mereka yang sama sekali tidak pernah mereka dengar.

Karim, Gian, Afi, Farah, Devon, Rizki, Nuzul, dan Danang bergantian menyalami kami bertiga sambil menggerakkan bibir mereka berusaha mengucapkan “As-sa-la-mu-alai-kum” atau “Se-la-mat pa-gi” dengan terputus-putus dan hampir tidak terdengar seperti “Assalamulaikum” atau “Selamat pagi” pada umumnya. Berada di kelas Persiapan I selama pelajaran berlangsung membuat saya tidak henti-hentinya mengucap asma Allah serta tersenyum bahagia melihat anak-anak “deaf-traordinary” ini yang dengan tekun memperhatikan apa yang dikatakan Bu Kat di depan kelas dan berani tampil ke depan menunjukkan hafalan huruf dan angka yang telah dipelajari. Di kelas itu pula saya belajar bahasa isyarat. Menyenangkan.
6 tahun usianya. Jahil tingkah lakunya. Manis senyumnya. Ramah sentuhannya. Melengking teriakannya. Sabar dan hebat keluarganya. Itulah Danang. Adik sepupu Rakhma ini divonis lemah syaraf pendengarannya saat usia satu tahun. Kemampuan bisa mendengar masih mungkin dialami Danang, dengan alat bantu dengar (ABD), tentunya. Beberapa tempat pengobatan dan penyedia ABD di Djokdja telah didatangi oleh Ibunda Danang. Namun, karena berbagai kendala, sampai saat ini Danang belum bisa mendapatkan ABD itu. Meskipun demikian, Danang masih bisa berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya dengan menggunakan bahasa isyarat. Di sekolah, Danang mau bersuara. Anehnya – menurut ibunya – Danang tidak pernah mengeluarkan suara ketika berkomunikasi dengan orang di rumahnya. Padahal menurut Bu Kat, yang terpenting bagi anak tuna rungu adalah melatih kemampuan mengeluarkan suaranya ketika ingin menyampaikan sesuatu, tidak hanya dengan bahasa isyarat saja.

Alasannya, tidak semua orang memahami bahasa isyarat yang dimengerti oleh para penyandang tuna rungu, sehingga apabila suara dapat dikeluarkan, maka lawan bicara yang merupakan orang awam bisa memahami apa yang disampaikan oleh anak-anak seperti Danang ini.

Allah memang tidak menciptakan makhluk-Nya dengan sia-sia. Tidak pula di dalam tubuh ciptaan-Nya hanya terdapat hal yang baik saja atau pun hal yang buruk saja. Contohnya Danang, di balik ketidakberfungsian telinganya, Danang sangat cepat menangkap hal-hal baru melalui matanya. Daya ingat yang tajam membuat Danang unggul pada beberapa hal, termasuk pengenalan benda-benda yang ada di sekitarnya. Menurut ibunya, Danang termasuk anak yang disiplin. Misalnya, begitu bangun tidur, Danang langsung mandi, lalu bersiap ke sekolah. Pulang sekolah – tanpa dikomandoi – Danang mengganti bajunya sendiri, mengambil baju di lemari dengan rapi tanpa berantakan. Setelah berganti baju, Danang langsung mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan oleh guru kelasnya. Menurut ibunya, Danang pernah tidak mengerjakan PR yang diberikan oleh Bu Kat, dan ia sangat menyesal, sehingga setiap PR yang diberikan pasti dikerjakannya dengan baik. Selesai bermain, semua mainannya dirapikan ke tempat semula. Danang tidak pernah mengambil atau merebut barang milik orang lain.

Sebaliknya, Danang paling tidak suka apabila barang-barang miliknya diambil atau dirusak oleh orang lain. Danang memiliki satu kakak yang dengan penuh pengertian membersamainya, meskipun terkadang mereka berkelahi. Tidak jarang pula Danang yang memulai perkelahian dengan kakaknya, karena memang Danang memiliki sifat jahil. Danang tinggal di rumah yang terdiri dari empat keluarga yang menempati rumah yang sama, sehingga interaksi sosialnya tidak terhambat. Dengan saudara sepupunya, Danang biasa bermain dan bercanda di rumah. Keluarga besar Danang pun memahami, mendukung, dan menyayangi Danang seperti anak-anak normal pada umumnya.

Melalui Danang, saya jadi tahu makna bersyukur yang seharusnya saya panjatkan kepada Allah SWT. Bahwa Allah tidak menyia-nyiakan hamba-Nya. Bahwa Allah menciptakan makhluk sesuai dengan bentuk terbaiknya. Bahwa segala hal yang baik menurut manusia belum tentu baik di mata Allah, dan segala hal yang buruk di mata manusia belum tentu buruk di mata Allah. Bahwa di balik kekurangan pasti ada kelebihan yang luar biasa. Bahwa segala kekuasaan dan kemahaan hanya milik Allah semata.

- t y -
24 November 2008
23.45 p.m.

Picture taken from: http://www.afunnystuff.com/images/Deaf%20Child.jpg

SweeT novEmbeR

Meskipun sekarang sudah memasuki bulan Januari 2008, saya tetap mem-posting tulisan saya bulan November lalu. Basi dan panjang memang... tapi kalau kau mau meluangkan waktu untuk membacanya, ga rugi juga qo... lagian, masa lalu menentukan diri kita di masa depan...
Judul film yang dibintangi oleh Keanu Reeves dan Charlize Theron ini sengaja saya jadikan judul postingan saya kali ini. Eit... tunggu dulu... bukan berarti saya sedang dilanda mabuk asmara, tapi memang saya telah mengalami hal yang ‘sweet-sweet’ di bulan November tahun lalu itu...

SweeT proPosaL
7 November 2008 - Setelah mengalami pergantian judul beberapa kali, akhirnya pondasi ‘masterpiece’ yang hendak saya bangun satu semester ke depan jadi sudah. Pergulatan emosi, perdebatan kognitif, sampai pada pertimbangan sosio-kultural mengiringi saya dalam perampungan proposal ini. Semoga peletakan batu pertama ini menjadi awal yang baik dalam proses pengerjaan ‘masterpiece’ saya menuju gerbang Grha Sabha Pramana tahun depan. Minta doanya...

SweeT weddiNg
8 November 2008 menjadi tanggal bersejarah bagi keluarga Sudiharto. Pernikahan kedua yang dilaksanakan di rumah kami setelah pernikahan Mba Pipit (kakak pertama saya) dan Mas Agung tahun 2004 silam membawa kesan tersendiri bagi saya. Mba Wulan (kakak kedua saya) dan Mas Andry bersanding di pelaminan megah diapit oleh kedua orang tua masing-masing. Sebuah pemandangan yang indah sekaligus penantian yang harus saya lalui sampai tiba saatnya saya dan dia (yang belum saya temukan) akan bersanding di sana.

Hari itu juga debut pertama saya menjadi fotografer ‘candid camera’. Pak Lutfi & crew menjadi tim profesional yang bertugas untuk merekam seluruh moment pernikahan itu, sedangkan saya – secara khusus – diminta Mba Wulan untuk mengabadikan moment pernikahannya yang tidak terekam oleh tim Pak Lutfi. Beberapa moment penting yang tidak terduga berhasil saya rekam. Tapi sayangnya, saya tidak bisa menampilkannya di sini, karena saya tidak sempat meng-copy hasil jepretan saya itu. Saking asyiknya memfoto jalannya akad sampai resepsi, sampai-sampai foto saya sendiri tidak ada di kamera yang saya pegang. Yang lebih parah, begitu acara selesai, saya baru menyadari bahwa kami sekeluarga tidak sempat berfoto bersama di hari penting itu.

Kealpaan yang sebenarnya bisa dicegah kalau saja kami tidak sibuk dengan urusan kami masing-masing. Jujur, saya menyesalinya. Tapi sudahlah, toh masih ada dua pernikahan lagi yang akan dilaksanakan di rumah keluarga Sudiharto beberapa tahun ke depan. Insya Allah...

Picture taken from: http://www.2007calendar.ca/assets/images/2007-november.jpg

Biar pun sedikit, nyank penting berisi

Bukan maksud hati menganaktirikan blog ini, tapi memang kondisi batin dan ragaku akhir-akhir ini ga terlalu oke. Lebay sih... tapi pikiranku pun ikut-ikutan stuck in a moment (U2 banget yak?). Terlintas beberapa peristiwa selama satu bulan terakhir ini yang ingin kubagi dalam tulisan di sini, tapi manifestasinya ga optimal. Jadilah tulisan-tulisan setengah matang yang ga layak published. Namun kali ini agak ‘kupaksakan’ diri menulis, demi eksistensi blog ini. Karena aku akan merasa amat berdosa apabila blog ini tak lagi terurus dan aku pun tak tega membiarkan terlalu lama para pembaca setiaku yang menanti tulisan-tulisanku (PE-DE mode: ON). Hehehe...

“Ternyata bukan kuantitas yang menjadi satu-satunya parameter keberhasilan”, celetuknya. Akhir November lalu, temanku – yang kau tidak tahu siapa – ini baru saja mendapatkan gift berupa Al Quran yang berisi lafal huruf latin plus terjemah – yang jika dibawa dengan satu tangan, kuyakin tanganmu itu akan terasa pegal, karena beratnya. Gift itu bisa jatuh ke tangannya karena panitia memberi penilaian berdasarkan jumlah kader binaan yang ia miliki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kader binaan yang dimiliki oleh kandidat penerima gift yang lain.

“Ternyata bukan kuantitas yang menjadi satu-satunya parameter keberhasilan. Aku merasa penilaian waktu itu nggak fair. Walaupun jumlah kader binaanku banyak, tapi hasilnya ga optimal, malah nggak bisa dibilang berhasil. Aku jadi malu sendiri”, kurang lebih seperti itu curhat temanku tadi pagi.

“Memang bener, tapi dalam waktu sempit, yang bisa kita nilai memang jumlahnya. Ga peduli isinya kaya gimana, kalo jumlahnya banyak, ya itu yang dianggap bagus”, aku coba berpendapat.
Seseorang dianggap kaya kalo diketahui harta bendanya banyak. Ga peduli didapat dari mana aja, dengan cara legal atau ilegal, halal atau haram, yang namanya orang kaya ya orang yang hartanya banyak. Kalo punya harta banyak, pasti ia bahagia.

Nilai raport atau IPK yang tinggi menunjukkan bahwa seorang pelajar/mahasiswa pandai. Ga peduli nilai itu didapat dari cara belajar yang sungguh-sungguh or just nyontek saat ujian, yang namanya mahasiswa pandai ya yang IPK-nya cum laude.

Kuantitas sering dijadikan penilaian sesaat untuk menentukan keberhasilan seseorang. Padahal, ga selamanya rumus tersebut berlaku. Size does matter, but it doesn’t always work well. Guru Matematika- ku waktu SMP sering berkata, “Lebih baik saya hanya punya murid 20, daripada punya murid 40 tapi susah diatur”. Hehe... waktu dulu, aku dan temen-temen sekelas emang bandel, ga bisa diam, maklum aja kalo gurunya ngeluh. Logikanya, kalo punya anak bimbingan dalam jumlah yang sedikit, penanganannya akan lebih intensif dan pengawasan pun bisa dilakukan secara detil, sehingga setiap person mendapat perhatian yang sama. Kalo muridnya banyak ya ga semua bisa di-handle dengan baik. Itulah kenapa sampai saat ini aku lebih senang ikut kelas kecil daripada kelas klasikal.

Begitu juga dengan item angket penelitian yang jumlahnya banyak, tapi konten-nya bertele-tele tidak lebih baik daripada angket penelitian yang jumlah item-nya sedikit, tetapi mengungkap seluruh aspek dari variabel yang ingin diukur. (Duh, jadi inget kerjaan niy...)
So, bersikap adillah dalam menilai sesuatu. Jangan hanya mementingkan kuantitas, lihatlah kualitasnya. Don’t judge candy by their amount, but look inside the package, shape, and feel the taste.

- t y -
23 Desember 2008
21.16 pm

Picture taken from: http://iushadisaputro.files.wordpress.com/2009/05/sedikit-jadi-bukit.jpg

Kurang Tidur

Uda dua hari ini jam tidurku sangat kacau. Ujian take home mata kuliah Isu-isu Kontemporer Psikologi Klinis menyita jam istirahatku. Lembur sampai jam setengah tiga pagi pun kulakoni. Terlepas dari tidak teraturnya manajemen waktu yang kuterapkan dalam mengerjakan tugas kuliah maupun tugas kerumahtanggaan lainnya, aku merasa hak tubuhku untuk beristirahat amat berkurang.

Allah telah mengatur siklus kehidupan manusia sedemikian rupa, yaitu dengan menjadikan malam dan siang, supaya manusia beristirahat pada malam hari dan supaya manusia mencari sebagian karunia-Nya pada siang hari agar manusia senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah Allah limpahkan (Q.S Al Qashash: 73).

Ga nyaman rasanya kalau siklus hidup terbalik: malam untuk kerja dan siang untuk beristirahat. Selain bertentangan dengan perintah Allah, hal itu juga tidak dianjurkan bagi kesehatan fisik dan mental. (artikel ttg tidur...)

Picture taken from: http://alymerenung.files.wordpress.com/2009/10/kucing-tidur.jpg

The Importance of Family Support

Adalah sebuah keniscayaan bagi orang tua merasa cemas dan khawatir ketika mendapat vonis bahwa anaknya menderita suatu penyakit kronis. Sebuah kenyataan yang ingin ditepis oleh orang tua mana pun. Namun, keadaan tidak akan berubah apabila orang tua hanya bersedih tanpa adanya usaha untuk menyembuhkan penyakit sang anak. Sudah sepatutnya pihak keluarga mencari informasi perawatan dan pengobatan medis yang bisa membawa kesembuhan penyakitnya. Pada kenyataannya, di beberapa klinik pengobatan anak, hanya ditemukan para ibu yang mengurus anaknya dalam memperoleh kesembuhan. Para ibu ini sudah pasti mengalami kecemasan yang amat tinggi dalam menghadapi anak yang berpenyakit kronis.

Kecemasan ibu ini berasal dari berbagai macam sumber, di antaranya kecemasan ketika melihat kondisi fisik anak yang kian melemah dan tidak sehat; kecemasan memikirkan biaya perawatan dan pengobatan yang tidak murah; kecemasan akan ada atau tidaknya kemungkinan sembuh bagi sang anak; kecemasan akan hubungan sosial anak selama menderita penyakit; dan kecemasan akan masa depan anak karena proses pendidikan yang terhambat.

Bukan perkara mudah untuk merawat anak berpenyakit kronis seorang diri. Ibu yang mengalami kecemasan ini tidak mampu berjuang sendiri menanganinya. Dukungan dari orang-orang sekitar akan sangat berharga bagi sang ibu, terutama dukungan dari dalam keluarganya.

Demi melakukan usaha terbaik bagi sang anak, ibu sangat membutuhkan dukungan dari suami dan anak-anak yang lain berupa dukungan emosional, yaitu rasa empati, pengertian, perhatian, dan rasa nyaman. Dengan dukungan ini, ibu akan lebih tenang dalam menangani penyakit kronis sang anak. Begitu juga dukungan yang bersifat fisik, meliputi kesediaan menemani, kontribusi pemikiran, serta keikutsertaan dalam merawat anak dapat membuat ibu merasa dihargai dan didukung usahanya dalam mencapai kesembuhan anak.

- t y -
Awal September 2008
Picture taken from: http://library.thinkquest.org/06aug/01593/images/Family%20Support.gif

StucK in a MomeNt

Kulihat dunia di sekelilingku berputar. Berputar cepat seakan jauh meninggalkanku (Lebay MODE: ON). Aku tidak bisa menyesuaikan ritme perputarannya. Segala hal tlah berubah. Orang-orang di sekitarku pun bermetamorfosis. Dari telur menjadi ulat, ulat menjadi kepompong, kepompong menjadi kupu-kupu. Everybody’s changing.

Mba Nini tlah mengabdi di suatu LBH di Jakarta dan bulan Februari akan terbang ke Jambi. Mba Noe menjadi editor di sebuah kantor penerbitan ternama di Klaten. Hesti sangat antusias dengan kuliah S1 FEB-nya plus mengantongi banyak pengalaman magang. Mba Irma banyak belajar dari orang-orang hebat tentang betapa besar cinta keluarga terhadap seorang anak. Mba Lina akhirnya bekerja di salah satu Bank pemerintah terbesar di Banjarnegara, seperti yang dicita-citakannya dahulu. Susi tlah dilantik menjadi Wakil Ketua IMAK (Ikatan Mahasiswa Akuntansi) D3 FEB UGM dan kian larut dalam kepanitiaan berbagai seminar. Rini berbahagia dengan hobi mengutak-atik komputernya plus menekuni ilmu pengambangan diri. Renshi bersemangat menyelesaikan kuliah teori dan bersiap menapaki skripsi. Romi sibuk dengan proposal penelitiannya. Rere sedang giat-giatnya jogging di pagi hari. Ririn yang study oriented dan menjunjung tinggi birrul walidain. Dini rajin ke perpustakaan guna merampungkan BAB 1, 2, dan 3-nya. Rakhma sedang menanti dikhitbah tahun depan. Sasa sangat serius menentukan subjek dan metode penelitiannya. Pipit sedang menggeluti analisis dan kesimpulan penelitian. Hima sudah melalui pendadaran awal Desember lalu dan menjadi mahasiswa Psikologi UGM angkatan 2005 pertama yang memastikan diri wisuda bulan Februari mendatang.

Di mana aku berada sekarang? Rasanya orbit edarku terlalu jauh dari orbit teman-temanku. Pergerakanku terlalu lamban. Pergeseranku terlalu pelan. Di saat teman-temanku berlari, aku baru mampu berjalan. Dan detik ini, aku merasa stuck in a moment.

Entah kapan aku akan membawa diriku keluar dari lubang “jalan di tempat” ini. Sangat tidak nyaman berada di dalamnya. Sakit rasanya ketika mengetahui bahwa tidak seorang pun dapat menarikku dari lubang ini. Tidak seorang pun, kecuali diriku sendiri. Keluar dari belenggu stagnansi. Menyusun rencana realistis. Menapaki langkah kerja yang konkret. Membabat habis kemalasan. Mengubur hidup-hidup keputusasaan. Memuntahkan ejekan dan cemoohan. Menginjak-injak ketakutan. Meluluhlantakkan godaan-godaan yang merayu. Membakar habis puing-puing keluhan yang sering terucap. Mengumpulkan semangat yang terserak. Membangun batu bata optimisme. Memupuk pohon harapan. Mengindahkan tantangan yang menghadang. Berlari mengejar kesempatan. Mengoptimalkan fungsi tubuh dan nikmat kehidupan demi progress kerja yang signifikan. Bersimpuh, berserah diri di hadapan-Nya. Menanamkan doktrin “berpikir positif” dan “berbaik sangka” terhadap Dia yang Maha Berkehendak, sehingga alam semesta mendukung dan malaikat pun mengamini. Membimbing diri ini melakoni peran protagonis dalam rangkaian episode kehidupan. Hingga tiba saatnya akhir yang indah ketika diri menghadap-Nya.

- t y -
22 Desember 2008

Picture taken from: http://farm2.static.flickr.com/1257/644154294_fe073d6476.jpg

Minggu, 10 Januari 2010

Bersama Dava



Alhamdulillah… ujian Psikologi Lingkungan & Psikologi Hukum uda berlalu – tepatnya – baru aja selesai. Perjuangan yang patut diperhitungkan. Coz materi ujian yang ga sedikit – dan kami ga mungkin menghafalnya – maka ketika mengerjakannya, kami boleh m’buka buku, handout, catatan, atau referensi lain (alias open book). walopun open book, tetap aja ujian hari itu (kamis/251007) sangat memeras otak dan tenaga. Masing-masing mata kuliah Cuma terdiri dari 5 soal, tapi essay... aplikasi dan penalaran pula... ditambah lagi, aku ga taw kalo ujian kedua mata kuliah itu tuh open book… yang ada, aku sibuk m’bolak-balik handout coz aku ga hafal letak stiap materinya. Payah banged yak?! caps de...

Dalam rangka untuk menyejukkan hati dan pikiranku karena mengalami post-examination syndrome (hallah… sok ng-istilah! Padahal ga ada istilah itu…), segera kulaksanakan sholat dzuhur di Musholla Al-Hikmah – musholla yang sebenarnya milik Fakultas Filsafat, tapi secara letaknya dekat dengan gedung kuliah Fakultas Psikologi, maka kami sering mengunjunginya untuk sholat atau tempat janjian.

Saatnya pulang… begitu sampe WA (Wisma Ana), aku ga langsung menuju kamarku, tapi mampir ke kamar mbaNin yang ada di sebelah kamarku lantaran mlihat sesosok mungil yang kukenal sedang duduk ga jelas di dalam kamar mbNin. Dava! Dava ini cucunya Ibu kos yang stiap harinya ditinggal ayah-bundanya bekerja. Kedua eyangnya – yakni bapak-ibu kos – sedang ada di Jakarta, di tempat budenya Dava. So, untuk beberapa hari ke depan, sepulang dari sekolahnya di TK Masjid Kampus UGM, Dava mengunjungi kami – anak-anak kos karena di rumahnya ga ada orang. Aku yang memang setelah Idul Fitri belum bertemu Dava, langsung menghampirinya, ”Eh, ada mas Dava... lagi ngapain?”. MbaNin yang saat itu sedang dandan karena maw pergi ke kampus, terus menyuruh Dava untuk menyalamiku, ”Ayo, salaman sama mbaTyas... belum salaman kan?” Dengan gerakan yang malu-malu plus paksaan (baca: seretan) mbaNin, akhirnya Dava menyalamiku. ”Ngomongnya apa hayo...”, godaku. Beberapa detik kemudian mbaNin keluar kamar. Tinggallah aku bersama Dava. Eh, melihat mbaNin keluar kamar, Dava pun ikut-ikutan keluar. ”Yah... mbaTyas qo ditinggal sendirian? Mas Dava di sini aja...” Dava tersenyum mengejek sambil berusaha menutup pintu kamar mbaNin, tapi gagal karena ada pengganjal pintunya. Ha... ha... ha... kutarik pintunya, kuganjal dengan kakiku. Menang aku dong... Dava yang tingginya ga lebih dari pinggangku jelas kalah dariku yang badannya segede gini. He... he... Dava terlihat jengkel karena ga berhasil mengerjaiku. Tau ga, apa yang dia lakukan? Menendangku! Ya, dengan kekuatannya yang ga seberapa tapi cukup menyakitkan itu dia menendang lututku. Daripada tambah membuatnya marah, aku keluar dari kamar mbaNin dan langsung menuju kamarku yang ada di sebelahnya sambil berucap, ”Mas Dava nakal!” Btw, anak-anak kos – terutama aku – emang manggil Dava dengan menambahkan Mas di depannya karena bulan November tahun lalu Dava punya ade, Farrel namanya. Untuk membahasakan, jadi kami memanggilnya Mas Dava. Sekarang ini Farrel sedang ada di Klaten, bersama eyangnya yang lain. Ga mungkin dong, ditinggal di Jogja...

Begitu masuk kamar, ingin rasanya langsung kurebahkan tubuh ini di atas kasur berselimut seprai ungu yang bentuknya tidak terlalu rapi itu (maap... sebelum ke kampus tadi ga sempat mberesin kasur seberes-beresnya). Tapi perut ini juga tak kuasa menahan lapar yang teramat... Sebelum bersiap untuk having lunch, aku wira-wiri dalam kamarku. Ngambil ini lah... ngambil itu lah... Dava yang memang ga ngerti maw ngapain (karena mbaNin juga uda berangkat ke kampusnya) mondar-mandir aja di depan kamarku. ”Mas Dava sini aja, maen di kamar mbaTyas... belum pernah ke sini kaaannn???”, sahutku manja (bermanja-manja: salah satu teknik persuasif dengan sasaran anak kecil di bawah umur. He... he...). Dava nyuekin aku sambil ngeloyor menjauhi kamarku. Mba Irma yg lagi nyuci baju di tempat yang ga jauh dari kamarku berkomentar, ”Duh... Tyas qo nggodain anak kecil sih...”, dengan cara bicara yang menggou-da. ”Habis... dia tidak menggodaku, jadi kugoda saja dia...”, cara bicaraku pun ikut-ikutan menggou-da. Ga usah dibayangin ya, teman-teman... Kalo bukan di WA, ga akan aku bicara dengan gaya kaya gitu. Apa kata dunia???

Kuabaikan Dava. Paling-paling dia ga berminat bertandang (hallah, bertandang...) ke kamarku. Sambil menyiapkan lunch yang kubeli di Pink (warung di Samirono yang bercat pink, kami menyebutnya warung Pink. Ada juga warung Merah, Kuning, dan Ijo. Kaya pelangi aja yak?) sebelum pulang ke WA tadi, aku sedikit membereskan kasur dan meja belajarku yang penuh dengan barang-barang yang sebenarnya bukan di situ tempatnya. Setengah tiga! Subhanallah... ternyata uda mau sore lagi... time is running out so fast.

Kuposisikan diriku se-PW mungkin untuk menyantap makan siangku. Baru membuka bungkusnya, aku terusik untuk menoleh ke arah pintu kamarku. Ngek! Dava uda berdiri di sana sambil senyum-senyum. Naga-naganya sih dia hendak mengagetkanku. Aku menang lagi... dia ga berhasil mengerjaiku. Wuek...kek...kek...kek...

”Eh, Mas Dava ke sini... ayo masuk... Mba Tyas mau maem... sini, sini, duduk sini...”, bujukku sambil meminta Dava untuk duduk di kasurku, terpaksa beberapa buku yang tergeletak di atas kasur kupindahkan ke meja demi memberi tempat untuk Dava duduk. Dia ga duduk, malah mendekatiku dan makan siangku. Jujur niy, perasaan senangku atas kedatangan Dava ke kamarku bercampur dengan kekhawatiranku akan tingkahnya yang unpredictable (bisa-bisa seisi kamarku berpindah tempat karena keonaran Dava. Mklum bae-lah... bocah cilik...). ”Mba Tyas mau maem... Mas Dava uda maem belom? Maem bareng yuk... Sini Mba Tyas suapin...”, terangku (sok baik ;p) sambil mulai menempelkan sendok ke makananku. ”Udah, di sekolah...”, jawab Dava. ”O... ya uda... Mba Tyas makan ya...”, sambil memasukkan suapan pertama ke dalam mulutku dengan didahului dengan doa sebelum makan. Mmm... nikmatnya... alhamdulillah... pada saat yang hampir bersamaan, adzan Ashar terdengar nun jauh di sana.

Dava belingsatan di atas lantai kamarku yang ga terlalu bersih juga, tapi cukup aman untuk tempat bermain Dava. Aku meneruskan makanku sambil berdoa dalam hati, Ya Alloh, lindungilah hamba... semoga Dava ga ngapa-ngapain... (ngapa-ngapain refer to melakukan hal aneh yang bisa mengganggu ketentraman jiwaku. Hiperboils yak?). Dava memperhatikan jam meja yang saat itu terletak di atas lantai di bawah meja printer (letak yang aneh...). Ia mencocokkannya dengan jam dinding yang tergantung di atas meja belajarku. ”Lho, ini jarum panjangnya ada di angka delapan, kok yang itu di angka sebelas?”, tanyanya dengan polos. Kritis sekali anak ini... pikirku. Aku memang sengaja mengeset jam dindingku lima belas menit lebih cepat daripada jam mejaku. Maksudnya sih supaya aku menyegerakan urusanku ketika melirik jam dindingku. Seolah-olah... padahal sama aja ya... kan yang ngeset aku sendiri. Lagian jam mejaku menunjukkan waktu yang sebenarnya. Ga tralu ngefek sih, tapi lumayan lah... bisa menjadi pemacuku untuk lebih berdisiplin (cara disiplin yang aneh...). Untuk menjawab pertanyaan Dava tadi, aku jelaskan bla...bla...bla... tapi nampaknya dia ga ngerti juga... ya iya lah... anak kecil...

Dari jam, ia beralih ke atas CPU. ”Wah... spidolnya warna-warni...”, ungkapnya disertai dengan senyuman. ”Iya... lucu kaaannn???”, tukasku, narsis. ”Mas Dava suka nggambar ga? Niy, kalo mau nggambar, pake spidol ini aja... ini kertasnya...”, aha! Aku menemukan cara untuk menghindarkan Dava dari hal yang mengancamku. Kuambil segepok spidol dalam tempat pensil dari atas CPU plus kertas bekas ngeprint yang ga lagi terpakai karena salah ngeprint dari atas kardus yang letaknya di bawah meja print. ”Niy, ayo gambar... pilih spidol yang warna apa? Mas Dava suka warna apa?”, tanyaku. ”Merah”, jawabnya. Dava mengambil spidol merah yang alhamdulillah masih bisa dipakai dengan baik. Sebetulnya segepok spidol itu ga smuanya bisa dipake. Cuma, aku belum sempat mengeceknya satu per satu. Aku meneruskan makanku yang baru setengah jalan itu sambil sesekali melihat ke arah Dava yang sedang menggambar. Wah, Dava bisa jadi subjek TIA (Tes Inteligensi Anak)-ku niy... kalo maw PDKT secara intensif, aku bisa membawanya ke kampus. ”Mas Dava kapan-kapan main ke kampus Mba Tyas yuk...”, pintaku, disela-sela aktivitas menggambarnya. Hiks, dicuekin niy... walopun oleh anak kecil, yang namanya dicuekin, ya mak jleb-jleb... sabar, Ty... katanya mau jadi Psikolog Perkembangan... masa baru dicuekin gitu aja nyerah... ”Emang Mas Dava sekolah sampe jam berapa?”, tanyaku lagi. ”Jam dua...”, kali ini Dava menjawab. Hmm... jam dua... kalo jadi, praktikum TIA-ku juga mulai jam dua, hari senin. Kalo Dava tetap mau kujadikan subyek, apa ga cape? Gimana ya, teknik persuasinya?

Aku mempercepat makanku dengan tujuan supaya aku bisa cepat-cepat membersamai Dava menggambar. Beberapa kali setelah menggambar suatu bentuk, Dava memperlihatkannya padaku. ”Ini rumah, ada tanduknya”, pamernya. ”Oh, iya... qo ada tanduknya sih, Mas? Buat apa? Buat hiasan ya?”, tanyaku basa-basi, sebagai apresiasi terhadap gambarnya. ”Iya, buat hiasan”, jawabnya agak ragu. Aku menyesal telah menanyakan pertanyaan dengan pilihan jawaban. Seharusnya aku bisa menggali kreativitasnya dengan membiarkan Dava menjawab apa pun yang dia mau.

Gambar demi gambar ia buat. Lucu-lucu, ada rumah bertanduk, rumah bercerobong asap, jalan simpang tiga dengan segitiga di tengahnya, mobil yang melintas di jalan, pot bunga yang lancip di dasarnya (mana bisa berdiri yak?!), matahari di sudut kiri atas, awan yang menumpahkan air hujan, burung-burung ’endutz’ (coz badannya bulet banged), pesawat terbang yang ukurannya sama dengan burung, dan karena mendung – kata Dava – maka ada petir yang keluar dari awan dan mengenai salah satu burung. ”Waduh, burungnya kasihan kena petir... jadi burung bakar dong...”, teu-teup ya, apa pun gambarnya, kuliner mulu komentarnya... he...he... ”Engga, ini pura-puranya burungnya ada di depan petir, jadi ga kena...”, jelasnya. ”O... gitu...”, ujarku mengiyakan. Oke juga imajinasi anak ini...

Berbagai warna spidol ia coba. Sebetulnya aku yang memintanya untuk mencoba spidol warna lain selain merah (duh, aku mematikan kreativitasnya lagi!). Dava mulai menggambar laut dengan menggoreskan spidol orange di atas kertas membentuk gelombang air. Hampir aja aku nyeletuk, ”Masa air warnanya oren?”, tapi aku tahan. Kali ini aku ingin membiarkannya berkreasi, sepertinya sejak tadi aku sudah cukup banyak mengintervensinya. Ada kapal layar di atas gelombang air itu. Di bawah gelombang air, Dava membagi menjadi tiga kotak dan diisinya dengan bentuk V, rumput, pikirku. Rumput? Masa sih, di bawah air ada rumput? Oh iya, saat itu di kamarku sudah terputar sinetron ”Si Entong” di TV (untung aku menemukan acara yang pas untuk anak seusia Dava, dan ia emang suka nonton ”Si Entong”) dan sudah dipenuhi oleh Mba Irma, Mba Antin, dan Ririn yang juga ingin melihat tingkah Dava. Ok, kembali ke... rumput... dengan penuh keheranan, aku nyeletuk, ”Lho, di laut qo ada rumput, sih, Mas?” Untuk menghilangkan keherananku, aku berimprovisasi, ”O... rumput laut ya...?” sing... komentar yang aneh... eh, Dava malah mengiyakan... Lagi, aku mengintervensinya.

Setelah beberapa hasil karya Dava hasilkan, aku sempat bertanya-tanya, qo ga da gambar gunung ya? Zamanku kecil dulu, kalo ada perintah menggambar, pasti tangan ini bergerak membentuk dua buah gunung simetris dengan matahari pagi menyembul di tengahnya. Di bawah gunung - tepatnya di tengah – kutarik garis membentuk jalan (lurus atau berkelok, tergantung mood) dengan sepetak sawah di sebelah kiri dan kolam ikan di sebelah kanan. Mostly, teman-teman juga akan menggambar hal yang sama kan? Lain halnya dengan Dava, ketika kutanya apakah dia suka menggambar gunung atau ga, ia menjawabnya, ”Engga”. Namun, karena hasil intervensiku juga, Dava memaksakan diri menggambar gunung seperti yang kugambarkan di atas, tapi tanpa kolam ikan, hanya ada sawah di masing-masing sisi jalan. Jika kuperhatikan, gambar gunung dan laut orennya tadi ga digambar dengan sepenuh hati oleh Dava. Ya iya lah... wong ga mau, qo yo dipekso... aku ga maksa juga sih... tapi penasaran aja, coz this boy is different...

Banyak kertas Dava habiskan untuk menggambar. Aku ga kuatir kertasku habis, coz aku emang punya banyak kertas bekas ngeprint yang sisi sebaliknya masih kosong warisan Mba Noe yang uda hengkang dari WA. Agaknya Dava cape menggambar. Ia berganti menulis nama-nama. Nama pertama: THOMAS. Katanya, Thomas adalah tokoh kartun pesawat yang bisa berbicara di salah satu VCD yang ia punya. Ga terasa uda jam empat waktu jam dindingku, brati uda satu jam aku bersama Dava. Di sela-sela Dava sibuk dengan spidol dan kertasnya, Dava bilang, “ Ayah pulang jam empat. Nanti aku mau bilang ayah kalo aku habis nggambar di kamarnya mba kos...” Dengan mengernyitkan dahi, “Mba kos yang mana? Emang namanya siapa?”, tanyaku menyelidik. ”Ngga tau”, jawabnya. ”Ih, Mas Dava nakal! Masa udah lama nggambar di sini ga tau nama yang punya kamar... Mas Dava jahat...”, aku merajuk sambil merengut (ga penting banget de... demi Dava niy, acting!). Eh, si Dava malah ketawa. Heran aja, masa dia ga tau namaku? Dulu aja, waktu kami ketemu di depan kos, dengan penuh perhatiannya Dava tanya, ”Mba Tyas habis sakit ya?” Aku terharu... masa sekarang dia lupa? Lagian kan sejak pertama berinteraksi, aku slalu menyebut diriku dengan ”Mba Tyas”, bukannya aku, saya, atau hanya mba... hu...hu...sedih... ”Coba sekarang Mas Dava baca di pintu, ada namanya di situ”, sengaja aku ga langsung membocorkan namaku, usaha dong! Kuminta Dava melihat tulisan dari gabus sisa acara di kampus setahun lalu yang kutempel di pintu kamar berbunyi ”Welcome to Tyas’s Palace”. Mh... jadi pengen malu... Dava menyebut, ”Tyas, tyas...”. Aku senang... ”Iya, ayo sekarang tulis di kertas”, maksa banget yak! Dava yang masih asing dengan huruf ’Y’ bertanya,”Habis ’T’ apa?” Aku menjawab, ”Habis ’T’, trus ’Y’...” Dava berpikir, ”’Y’... ’Y’ itu sebelum ’Z’ ya?” Kalo yang nanya bukan Dava, bakalan kujawab, ”Ya iya lah...”, tapi berhubung yang nanya Dava, maka aku mengiyakan dengan halus. Dava yang belum yakin dengan jawabanku langsung menyanyikan lagu wajib anak-anak yang baru belajar menghafal abjad, ”a-b-c-d-e-f-g—h-i-j-k-l-m-n—o-p-q-r-s-t-u—v-w-x-y-z”, aku pun ikut menyanyikannya. Ade-ade aje Dava niy... Baguuusss... akhirnya selesai juga tulisan ”Tyas” pada salah satu hasil karyanya. Dengan bangganya aku nyletuk, ”Ntar dipajang ya... buat kenang-kenangan...” Dava malah bilang, ”Nanti malem aku sama ayah mau fotokopi ini semuanya, terus dibagi ke orang-orang”. Dengan sangat tidak menunjukkan rasa empati, aku komen, ”Dibagi ke siapa? Emang ada yang mau?”, sambil tertawa kecil. Dava juga ketawa. Setelah namaku terukir dengan spidol biru, giliran tulisan AYAH, BUNDA (awalnya, Dava nulisnya BUDAN, trus ambil kertas lagi, dibnerin jadi BUNDA), NINI, HESTI, dan yang terakhir SITI. NINI brati Mba Nini; HESTI, anak kos juga, yang agaknya menarik perhatian Dava (cie...cie...); dan SITI, mantan baby sitter Dava yang uda pulang kampung dan ga balik lagi, tampaknya Dava kangen Mba Siti...

Aku meminta Dava untuk menghitung gambar yang ia hasilkan. Total ada 8-9 gambar. Subhanallah... anak ini kalo mood-nya lagi bagus, bisa juga dijinakkan. He...he...

Uda jam empat niy... ”Kayaknya ayah pulang...”, kata Dava. Ga kaya orang dewasa yang pamitan sebelum mohon diri, Dava langsung beranjak dari duduknya dan ngeloyor meninggalkanku. Huh! Akhirnya aku yang say goodbye, ”Dah, Mas Dava... kapan-kapan main sini lagi ya... ba-bay...”, tanpa didengar olehnya yang tidak menghiraukan aku waktu itu. Hiks... yes, akhirnya aku bisa mandi! Pas aku mau keluar kamar, eh, Dava datang lagi, ”Ayah belom pulang. Nggambar lagi ah...”, eh... si Dava masuk kamarku lagi dan mengutak-atik spidol plus kertas yang emang belom aku beresin. Dengan perasaan sedikit khawatir terhadap barang-barangku, aku membulatkan tekad untuk meninggalkan Dava sendiri di kamarku demi membersihkan diri alias mandi. Seselesainya aku mandi, eh, bocah itu uda menghilang dari kamarku. Dava... Dava... ga enak kan, dicuekin...?

Aku merasa perlu mengabadikan momen sejam bersama Dava ini ke dalam sebuah tulisan dan membagikannya kepada teman-teman yang sudi membaca sepenggal kisah hidupku ini (hallah...). Moga-moga ada ibroh (pelajaran/hikmah) yang bisa dipetik dari pengalamanku ini. Aku sendiri merasa mendapatkan banyak sekali ibroh. Pelajaran tentang membujuk anak kecil agar mau bersikap baik, menkondisikan agar ia ’betah’ bersamaku, melatih spontanitasku mengomentari pertanyaan dan pernyataan polosnya, dan mengendalikan dominasi dan intervensiku terhadapnya, juga menata hati agar tidak mudah nge-burn (jengkel, sebel, mutung) saat menghadapi anak kecil, juga belajar menaruh kepercayaan kepadanya bahwa ”He can be a good boy... He’s fine...”

Wallahu a’lam bi showab

- t y - Yk, 26 Okt 2007 14.04 WIB di sela-sela himpitan UTS yang butuh perjuangan

Picture taken from: http://www.childcareaware.org/images/category_icons/child_care_101.gif

apeL masAm?

“Dulu, waktu aku masih sangat kecil, aku memanjat pohon dan memakan apel-apel hijau yang masam. Perutku kembung dan jadi keras seperti genderang, rasanya sakit sekali. Kata ibu, kalau aku menunggu apel itu masak, aku tidak akan sakit. Jadi, sekarang setiap aku sangat menginginkan sesuatu, aku mencoba mengingat yang dikatakan ibuku tentang apel itu.” (The Kite Runner - 2003)

Filosofi ‘apel masam’ ini telah terpatri dalam diri saya. Sama seperti Sohrab – bocah dalam kisah itu – yang mengatakan kalimat di atas, ketika saya sedang berambisi mengejar sesuatu, saya akan mengingat ‘apel masam’.

“Gue banget!”, komentar yang pertama kali meluncur dari bibir saya ketika membaca perkataan Sohrab tadi. Apalagi bila dicocokkan dengan kondisi diri saya saat ini, ‘apel masam’ menjadi pelajaran berarti untuk saya. Dilatarbelakangi oleh beberapa keputusan yang saya ambil secara terburu-buru, sehingga membuat saya tersakit-sakit pada akhirnya, maka saya tidak ingin terperosok ke dalam jurang yang sama untuk yang kedua kalinya.

Agak rumit memang, ketika saya harus bersabar menunggu hingga apel itu matang dan berasa manis. Apel yang ada di depan saya – apa pun warnanya, bagaimana pun rasanya – ingin cepat-cepat saya makan. Tanpa memikirkan konsekuensi yang harus saya terima setelah memakannya dan tanpa mengantisipasi langkah apa yang harus saya ambil ketika rasa sakit itu datang.
Padahal, kalau mau bersabar sedikit, saya bisa menunggu hingga apel itu matang, sehingga ketika memakannya pun saya merasakan kesenangan karena manisnya apel itu, dan tidak ada rasa sakit yang menyerang perut saya.

Kalau saja mau bersabar...

- t y -
Yk, 29 Oktober 2008
23.15 p.m.

Picture taken from: http://anakjenius.files.wordpress.com/2009/06/herba-prana-buah-apel-297x300.jpg

The kiTe ruNNer


Buku ini saya temukan berbulan-bulan lalu di Social Agency Baru, Sagan – toko buku langganan saya. Namun, baru pada bulan September lalu mata saya tertuju padanya, tangan saya menggenggamnya, otak saya merekam tampilan covernya, hati saya tergerak untuk membacanya, dan kocek saya mampu membelinya (ujung-ujungnya duit, heheh...).
Adalah Amir, seorang anak berumur 12 tahun. Ia tinggal bersama ayahnya – yang disebutnya Baba jan. Baba merupakan seorang pengusaha sukses yang kaya raya dan terkenal dermawan dan memiliki banyak koneksi. Oleh karena sikap dermawannya, Baba disukai banyak orang karena dapat dengan mudah mendapat pinjaman uang darinya. Namun, tidak demikian dengan Amir.
Amir tidak suka dengan sikap Baba jan yang dingin. Amir menganggap bahwa kekakuan sikap Baba jan merupakan perwujudan sikap marahnya terhadap Amir karena telah menyebabkan istri tercintanya meninggal saat melahirkan Amir. Amir berpikiran bahwa sikap Baba jan tidak akan berubah terhadapnya. Selain itu, Amir juga tidak menyukai sikap Baba jan yang sering membandingkan dirinya dengan Hassan.
Di rumah megah itu, Baba jan dan Amir tinggal bersama seorang pelayan – Ali – dan anaknya – Hassan yang satu tahun lebih muda dari pada Amir. Ali adalah seorang Hazara – suku yang dianggap rendah di Afghanistan – jauh di bawah kaum Pashtun yang memiliki kehormatan tinggi dan dianggap paling pantas berpijak di bumi Afghanistan. Ayah Baba memungut Ali dan membiarkannya tumbuh bersama Baba selama 40 tahun hingga menjadi pelayan Baba. Tampaknya hal ini akan terulang pada kehidupan Amir dan Hassan. Meskipun Hassan hanyalah seorang anak pelayan hazara, sehari-harinya Amir menghabiskan waktu bersamanya – bermain, membacakan cerita, menonton film di Cinema Park, dan menjadi tandem dalam festival layang-layang di kota Kabul.
Persahabatan Amir dan Hassan begitu indah, sampai pada suatu hari hal yang amat buruk terjadi. Suatu peristiwa traumatis bagi Hassan yang menjadikan Amir menyesal seumur hidup. Menyesal karena tidak mampu berbuat apa pun untuk Hassan yang selama ini setia kepadanya. Peristiwa yang membuat Amir menjadi dirinya yang jauh dari harapan Baba jan.
Peristiwa demi peristiwa terjadi mewarnai kehidupan Amir. Perginya Ali dan Hassan dari rumah, pendudukan tentara Soviet yang mengancam hidup Baba jan, hijrahnya Amir dan Baba jan dari Kabul, sampai pada telepon Rahim Khan yang menjanjikan Amir untuk bisa membayar rasa sesalnya di masa lalu – bahwa ada jalan untuk kembali menuju kebaikan.
Buku ini bercerita tentang kehidupan Amir dan orang-orang di sekitarnya – Baba jan, Rahim Khan, Hassan, Soraya jan, dan yang lainnya. Bersetting di Afghanistan, cerita ini penuh dengan konflik fisik maupun batin, sarat akan nilai moral, dan bisa menjadi inspirasi dan refleksi bagi para pembaca yang menyukai kebudayaan Islam, konflik kemanusiaan yang terjadi di timur tengah – yang melibatkan Taliban, serta permainan kata yang bisa mengobrak-abrik emosi. Penulisnya, Khaled Hosseini – seorang dokter spesialis penyakit dalam ini – rupanya sangat berbakat dalam hal menulis fiksi. The Kite Runner merupakan novel karya pertamanya, novel Afghan pertama berbahasa Inggris, sekaligus menjadi buku terlaris sepanjang 2005.
Salah satu faktor yang membuat saya berhasrat untuk membaca buku ini adalah telah dibuatnya film The Kite Runner. Satu kebiasaan saya, apabila saya menemukan sebuah film yang diilhami dari buku – atau sebaliknya – apabila saya menemukan buku yang akan-sedang-sudah dibuat filmnya, maka sebisa mungkin saya membaca bukunya sampai habis, baru kemudian saya tonton filmnya. Simple saja, saya ingin memiliki gambaran mengenai tokoh, setting, dan alur cerita melalui buku sebelum menonton filmnya. Dengan demikian, walaupun visualisasi dari film telah saya dapatkan, namun saya tidak kehilangan imajinasi dan harapan akan tokoh, setting, maupun alur cerita yang saya ciptakan sendiri melalui buku. Idealisme itu tetap saya pegang, meskipun untuk beberapa film yang diilhami buku, saya tonton dengan tidak didahului membaca bukunya. Contohnya, Harry Potter, Timeline, A Beautifull Mind, The Lord of the Rings, Eragon, dan Narnia.
Sedikit mengkritisi film The Kite Runner. Seperti kebanyakan film yang berangkat dari buku, dalam film The Kite Runner ini terdapat pemotongan alur dan adegan yang tidak sesuai dengan bukunya. Sebuah permakluman yang lumrah apabila sutradara film melakukan hal semacam ini: menghilangkan secuil bagian peristiwa demi tersampaikannya sebagian besar isi cerita. Sama lumrahnya ketika Presiden AS Truman menjatuhkan bom di Hiroshima dan Nagasaki dengan alasan (sok) bijak: menyingkirkan ratusan nyawa demi menyelamatkan jutaan nyawa lainnya. But after all, saya tidak terlalu kecewa saat menonton filmnya. Beberapa visualisasi yang ditampilkan dalam film cocok dengan imajinasi yang telah saya bangun ketika membaca bukunya. Good enough! Namun, tetap saja saya menyarankan untuk membaca bukunya terlebih dulu sebelum menonton filmnya. Saya khawatir imajinasi pembaca akan terdistorsi ketika membaca buku setelah menonotn filmnya. Lagipula, saya tidak yakin penonton akan membaca buku setelah menonton film, karena rasa penasaran tidak lagi muncul.
Bagi para pembaca yang menginginkan cerita yang tidak monoton dan menggugah rasa kemanusiaan, serta para penggemar film yang ingin mendapatkan visualisasi timur tengah yang kental, saya merekomendasikan The Kite Runner. Untukmu, keseribu kalinya...

- t y -
Yk, 29 Oktober 2008

Picture taken from: http://i.telegraph.co.uk/telegraph/multimedia/archive/01182/arts-graphics-2007_1182751a.jpg

ProfEsioNaLismE “chaMpiuN”


Sore itu, kala para pekerja lebih memilih bersantai di rumah melepas kepenatan setelah sehari penuh mencari nafkah, kala muda-mudi beredar – hang out – menunggu hadirnya malam, kala surya berpulang ke peraduan berganti hadirnya rembulan yang menerangi malam, saya pun memutuskan untuk keluar sejenak – mencari pemandangan yang lebih menyegarkan daripada berada seharian di kamar nomor 13 Wisma Ana, terlebih lagi berhadap-hadapan dengan layar monitor beserta tuts keyboard Notty yang – terkadang – mendatangkan pressure bagi otak ini (lebay dot com).
Menyusuri Jalan Profesor Herman Yohannes – atau yang sering disebut daerah Sagan – membuat mata saya tidak berhenti untuk tengok kanan-kiri, mencari gerobak martabak yang biasa mangkal di daerah Sagan ini. Di separuh ruas jalan itu, saya menemukan gerobak martabak yang saya cari. Sebenarnya, bukan martabak lah satu-satunya tujuan saya pergi sore itu. Sesuai planning yang saya buat, terlebih dulu saya memenuhi janji untuk mengambil foto di Jalan Urip Sumoharjo – alias Jalan Solo, setelah itu baru saya meluruskan niat untuk membeli martabak.
Martabak “Champiun”. Demikian merk dagang yang tertera di kaca gerobak itu. Tidak ketinggalan nomor telepon pemiliknya – untuk layanan delivery service mungkin. Dua pemesan sebelum saya datang sedang menunggu pesanannya siap. Ketika pemesan pertama sudah mendapatkan martabak di tangan dan pergi meninggalkan tempat itu, tinggalah saya dan pemesan kedua di sana. Martabak “Champiun” ini diawaki oleh dua orang – laki-laki (Main Chef) dan perempuan (asisten).
Seperti yang kita tahu, penjual martabak biasanya menjual dua jenis martabak: martabak telor dan martabak manis (orang Djogja menyebutnya Kue Terang Bulan). Di tengah-tengah proses pembuatan Terang Bulan, saya dikejutkan dengan aksi sang asisten yang membuang adonan kulit Terang Bulan setengah matang langsung dari loyang bundar tempat mencetak kue itu. Ternyata pemirsa, menurut Main Chef, adonan itu kurang mengembang, sehingga akan berpengaruh pada rasa yang dihasilkan oleh Terang Bulan itu. Dengan berat hati, Main Chef berambut jarang itu meminta maaf kepada pemesan kedua bahwa ia tidak bisa menjual Kue Terang Bulan yang adonannya gagal. Belajar dari produk gagal Terang Bulan itu, Chef memutuskan untuk tidak menjual Terang Bulan sepanjang malam itu. Bisa jadi malam itu menjadi malam yang terasa amat gelap bagi Chef dan asistennya karena tidak ada Terang Bulan yang terjual di tengah malam yang diterangi cahaya bulan itu (sok puitis nih ye...).
Tidak berlebihan apabila saya setuju dengan nama yang terpampang di gerobak martabak ini – “Champiun” – karena memang penjualnya memiliki jiwa pemenang sebagai pelaku bisnis yang jujur dan menjunjung tinggi profesionalisme. Padahal, bisa saja pada malam itu ia tetap menjual Terang Bulan, apa pun bentuknya, bagaimana pun rasanya. Namun, ia bersikeras untuk tidak menipu pelanggan karena rasa Terang Bulan yang tidak sesuai keinginan. Kerugian beberapa puluh ribu rupiah bersedia ia tanggung asalkan para pelanggan tidak lari darinya. Entah apa nama strategi pemasaran ini (karena saya tidak mempelajari ilmu Marketing), tetapi “Champiun” ini telah merebut hati pelanggan dengan profesionalisme yang senantiasa dijaganya.
Pengalaman saya di atas hanyalah sekelumit dari kisah profesionalisme para pedagang ‘kecil’ yang bisa kita temui di belahan bumi ini. Rasa malu sudah semestinya menjalar di benak para pelaku bisnis, pemegang kebijakan, pendidik, mahasiswa, atau profesi apa pun yang merasa belum mampu menjunjung tinggi profesionalisme dan tanggung jawab terhadap pekerjaan mereka. Tidak terkecuali diri saya. Tanpa ada cerita di atas pun seharusnya kita bisa bersikap profesional dalam bekerja dan berbuat.
Bahkan penjual martabak pun bisa bersikap profesional...

- t y -
Yk, 29 Oktober 2008

Picture taken from: http://semilirsunyi.files.wordpress.com/2009/02/54354_uang1.jpg

The pOwer Of foRgiviNg



Penelitian ilmiah tentang perilaku memaafkan merupakan sebuah terobosan baru dalam pendekatan konflik selama ini. Selama ribuan tahun, orang-orang telah mempraktekkan perilaku memaafkan dalam sistem agama. Baru-baru ini, bidang penelitian ilmiah tentang memaafkan menunjukkan berbagai manfaat.

Adalah Everett L. Worthington, Jr., Ph.D - seorang profesor psikologi di Virginia Commonwealth University – yang telah meneliti tentang memaafkan secara langsung diturunkan dari bidang ilmu yang ditekuninya yaitu problem klinis pada pasangan dan keluarga. Bersama dengan Michael McCullough and Steven Sandage (setelah meraih gelar sarjana), Worthington mengembangkan model untuk mempromosikan perilaku memaafkan yang dapat diaplikasikan dalam setting kelompok psikoedukasional. Model yang dihasilkannya telah diuji beberapa kali dan ditemukan efektifitasnya pada setting kelompok psikoedukasional, dan sebuah meta-analisis mendukung efektivitasnya.

“Kerendahan hati (humility) tidak meneriakkan karakternya. Ia merupakan kebajikan yang tak terdengar. Kita harus melakukan pendekatan secara halus padanya. Karena kesunyiannya, kita harus mendengar, melihat, dan merasakan perbedaan karakternya,” tulis Dr. Everett L. Worthington Jr. dalam bukunya Humility: The Quiet Virtue. Ia mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari dan mengajar bagaimana memaafkan dan keadilan bisa berjalan beriringan. Dalam buku bersampul tipis yang inspiratif ini, ia banyak menghadirkan asesmen pemikiran yang memprovokasi (thought-provoking) and penggerak jiwa (soul-stirring) dari kerendahan hati. Ia membubuhi tulisannya dengan kutipan kata-kata dari beberapa tokoh terkenal, di antaranya Helen Keller, T.S. Eliot, John Ruskin, dan Fyodor Dostoevsky.

Worthington menulis: “Komponen kerendahan hati adalah melihat dan menghormati sesuatu lebih besar dari diri kita”. Berhubungan dengan perilaku memaafkan, kerendahan hati menjadi salah satu faktor penyebab seseorang untuk memaafkan kesalahan orang lain. Seseorang yang memiliki kerendahan hati akan merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Melebihi kemampuannya, melebihi kekuatannya, melebihi apa pun yang ada di dunia ini. Selanjutnya, tidak lagi perasaan “rendah” ini ditujukan kepada sesama manusia, tetapi lebih daripada itu, kerendahan hati ditunjukkan oleh manusia di hadapan Tuhan Maha Segalanya. Karena perasaan sebagai makhluk yang “kecil” inilah seseorang tidak enggan meminta maaf dan memaafkan sesamanya.

Bersumber dari sebuah tulisan Cholis Akbar (020708) yang dimuat hidayatullah.com, “Forgiveness research” atau penelitian tentang perilaku memaafkan termasuk bidang yang kini banyak diteliti ilmuwan di sejumlah bidang keilmuan seperti kedokteran, psikologi dan kesehatan. Hal ini karena sikap memaafkan ternyata memiliki pengaruh terhadap kesehatan jiwa raga, maupun hubungan antar-manusia. Jurnal ilmiah EXPLORE (The Journal of Science and Healing), edisi Januari/Februari 2008, Vol. 4, No. 1 menurunkan rangkuman berjudul “New Forgiveness Research Looks at its Effect on Others” (Penelitian Baru tentang Memaafkan Mengkaji Dampaknya pada Orang Lain).

Dipaparkan pula bahwa berlimpah bukti telah menunjukkan perilaku memaafkan mendatangkan manfaat kesehatan bagi orang yang memaafkan. Lebih jauh dari itu, penelitian terbaru mengisyaratkan pula bahwa pengaruh memaafkan ternyata juga berimbas baik pada kehidupan orang yang dimaafkan.

Worthington Jr, beserta partnernya merangkum kaitan antara memaafkan dan kesehatan. Dalam karya ilmiahnya, “Forgiveness in Health Research and Medical Practice” (Memaafkan dalam Penelitian Kesehatan dan Praktek Kedokteran), di jurnal Explore, Mei 2005, Vol.1, No. 3, Worthington dkk memaparkan dampak sikap memaafkan terhadap kesehatan jiwa raga, dan penggunaan “obat memaafkan” dalam penanganan pasien.

Memaafkan dan Kesehatan
Penelitian menggunakan teknologi canggih pencitraan otak seperti tomografi emisi positron dan pencitraan resonansi magnetik fungsional berhasil mengungkap perbedaan pola gambar otak orang yang memaafkan dan yang tidak memaafkan. Orang yang tidak memaafkan terkait erat dengan sikap marah, yang berdampak pada penurunan fungsi kekebalan tubuh. Mereka yang tidak memaafkan memiliki aktivitas otak yang sama dengan otak orang yang sedang stres, marah, dan melakukan penyerangan (agresif).

Demikian pula, ada ketidaksamaan aktivitas hormon dan keadaan darah si pemaaf dibandingkan dengan si pendendam atau si pemarah. Pola hormon dan komposisi zat kimia dalam darah orang yang tidak memaafkan bersesuaian dengan pola hormon emosi negatif yang terkait dengan keadaan stres. Sikap tidak memaafkan cenderung mengarah pada tingkat kekentalan darah yang lebih tinggi. Keadaan hormon dan darah sebagaimana dipicu sikap tidak memaafkan ini berdampak buruk pada kesehatan.

Raut wajah, daya hantar kulit, dan detak jantung termasuk yang juga diteliti ilmuwan dalam kaitannya dengan sikap memaafkan. Sikap tidak memaafkan memiliki tingkat penegangan otot alis mata lebih tinggi, daya hantar kulit lebih tinggi dan tekanan darah lebih tinggi. Sebaliknya, sikap memaafkan meningkatkan pemulihan penyakit jantung dan pembuluh darah.
Kesimpulannya, sikap tidak mau memaafkan yang sangat parah dapat berdampak buruk pada kesehatan dengan membiarkan keberadaan stres dalam diri orang tersebut. Hal ini akan memperhebat reaksi jantung dan pembuluh darah di saat sang penderita mengingat peristiwa buruk yang dialaminya. Sebaliknya, sikap memaafkan berperan sebagai penyangga yang dapat menekan reaksi jantung dan pembuluh darah sekaligus memicu pemunculan tanggapan emosi positif yang menggantikan emosi negatif.

Kesehatan Jiwa
Selain kesehatan raga, orang yang memaafkan pihak yang mendzaliminya mengalami penurunan dalam hal mengingat-ingat peristiwa pahit tersebut. Dalam diri orang pemaaf, terjadi pula penurunan emosi kekesalan, rasa getir, benci, permusuhan, perasaan khawatir, marah dan depresi (murung).

Di samping itu, kajian ilmiah membuktikan bahwa memaafkan terkait erat dengan kemampuan orang dalam mengendalikan dirinya. Hilangnya pengendalian diri mengalami penurunan ketika orang memaafkan dan hal ini menghentikan dorongan untuk membalas dendam.
Kedzaliman

Harry M. Wallace dkk dari Department of Psychology, Trinity University, One Trinity place, San Antonio, AS menulis di Journal of Experimental Social Psychology, Vol 44, No. 2, March 2008, hal 453-460 dengan judul “Interpersonal consequences of forgiveness: Does forgiveness deter or encourage repeat offenses?” (Dampak Memaafkan terhadap Hubungan Antar-manusia: Apakah Memaafkan Mencegah atau Mendorong Kedzaliman yang Terulang?). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa menyatakan pemberian maaf biasanya menjadikan orang yang mendzalimi si pemaaf tersebut untuk tidak melakukan tindak kedzaliman serupa di masa mendatang.

Obat Memaafkan
Berdasarkan bukti berlimpah sikap memaafkan yang berdampak positif terhadap kesehatan jiwa raga, kini di sejumlah negara-negara maju telah dilakukan berbagai pelatihan menumbuhkan jiwa pemaaf dalam diri seseorang. Bahkan perilaku memaafkan ini mulai diujicobakan di dunia kesehatan dan kedokteran dalam penanganan pasien penderita sejumlah penyakit berbahaya.
Orang yang menderita resiko penyakit jantung koroner dan tekanan darah tinggi berpeluang mendapatkan manfaat dari sikap memaafkan. Telah dibuktikan bahwa 10 minggu pengobatan dengan menggunakan “sikap memaafkan” mengurangi gangguan kerusakan aliran darah otot jantung yang dipicu oleh sikap marah.

Rasa sakit kronis dapat diperparah dengan sikap marah dan kesal (dendam). Penelitian terhadap orang yang menderita sakit kronis pada punggung bawah menunjukkan bahwa rasa marah, sakit hati dan sakit yang dapat dirasakan secara inderawi lebih berkurang pada mereka dengan sikap pemaaf yang lebih besar.

Kampanye Memaafkan
Gerakan memaafkan yang dipimpin oleh Everett L. Worthington Jr., yang merupakan seorang psikolog klinis yang juga menjabat Direktur Marital Assessment, Therapy and Enrichment Center (Pusat Penilaian, Pemulihan dan Pengokohan Perkawinan) di Universitas tersebut. Situs ini menyediakan informasi seputar hasil penelitian seputar memanfaatkan ditinjau dari berbagai disiplin ilmu. Selain itu abstrak makalah konferensi ilmiah tentang memaafkan, nama para ilmuwan dan pusat-pusat penelitian ilmiah tentang memaafkan ini juga dapat dijumpai di situs ini.

Selain dampak baiknya pada kesehatan jasmani dan rohani, kaitan antara erat sikap memaafkan dengan hubungan antar-manusia, seperti hubungan suami istri, anggota keluarga, maupun anggota masyarakat juga telah banyak diteliti. Sikap memaafkan berpengaruh baik pada pemulihan hubungan antar-manusia tersebut.

“Memaafkan dapat mengobati seseorang, perkawinan, keluarga, masyarakat, dan bahkan segenap bangsa. Kami mengajak Anda bergabung dengan ”masyarakat-memaafkan kami” dan menjadi bagian dari usaha yang semakin berkembang dalam rangka menyebarluaskan anjuran memaafkan ke seluruh dunia. Kami menawarkan situs ini untuk mempelajari penelitian ilmiah tentang memaafkan, dan berbagi pengalaman Anda sendiri tentang memaafkan, atau terilhami oleh orang lain. Memaafkan adalah sebuah keputusan dan sekaligus sebuah perubahan nyata dalam pengalaman emosi. Perubahan dalam emosi itu terkait erat dengan kesehatan raga dan jiwa yang lebih baik.”

Hikmah Ilahiah
Nampaknya, ilmu pengetahuan modern semakin menegaskan pentingnya anjuran memaafkan sebagaimana diajarkan agama. Di dalam Al Qur’an, Hadits maupun teladan Nabi Muhammad SAW, memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang mendzalimi merupakan perintah yang sangat kuat dianjurkan. Salah satu ayat berkenaan dengan memaafkan berbunyi:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Asy Syuuraa, 42:40).

Catur Sari Widianingtyas
PS/05072
Isu-isu Kontemporer Psikologi Klinis
- 2008 -

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Cholis. Penelitian: Memaafkan Mendatangkan Kesehatan. http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=7135&Itemid=1
Worthington, Jr., Everett. Dimensions of Forgiveness. http://ebooks.ebookmall.com/ebook/209743-ebook.htm
Worthington, Jr., Everett. Humility: The Quiet Virtue. Virginia: Templeton Foundation Press. http://www.spiritualityandpractice.com/books/books.php?id=17554
http://www.iamasite.com/images/doodles/forgiving.jpg